SURVEI yang dilakukan oleh Singapore Post dalam Indonesia’s E-commerce Landscape 2017 menyatakan bahwa Indonesia kini telah duduk sebagai negara dengan penetrasi internet tertinggi keenam di dunia.
Peningkatan tersebut nampaknya bukan hanya berarti penambahan jumlah orang yang mengakses internet, lebih dari itu sebagaimana dipaparkan oleh PEW Research Center, konsekuensi logis atas perkembangan internet menyebabkan terbentuknya pasar perdagangan online (e-commerce) yang profitable di tanah air.
Kementerian Perdagangan dan Perindustrian (Kemenperin) merilis data bahwa peredaran transaksi e-commerce di Indonesia pada 2014 lalu telah mencapai angka kurang lebih Rp1.400 triliun atau setara dengan 8,5% dari total produk domestik bruto (PDB) dari sektor perdagangan. Jumlah ini setidaknya berasal dari transaksi yang dilakukan oleh 75 ribu pelaku e-commerce yang tersebar di seluruh tanah air.
Mengapa E-Commerce Harus Dipajaki?
Perkembangan e-commerce di tanah air nampaknya mampu memberikan multiplier effect(manfaat pengganda) bagi perekonomian Indonesia. Bukan hanya berdampak pada peningkatan konsumsi dalam postur PDB, e-commerce nampaknya dapat menjadi lahan basah dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak negara.
Jika diamati lebih dekat, pemberlakuan pajak e-commerce di dalam negeri bukannya tanpa landasan. Kebijakan tersebut merupakan produk atas Surat Edaran Dirjen Pajak No. 62/PJ/2013 (SE-62) yang telah diterbitkan sejak empat tahun yang lalu.
Pemerintah memandang bahwa maraknya perkembangan e-commerce harus segera ditertibkan sebab jika tanpa regulasi maka bentuk perdagangan semacam ini mampu menimbulkan merugikan negara hingga mengancam stabilitas pasar.
Sebagaimana dipaparkan oleh Direktur Perpajakan Internasional Dirjen Pajak John Hutagaol bahwa dua asas di antara faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain suatu kebijakan publik, yaitu keadilan (equity) dan tidak diskriminatif (non-discriminative).
Oleh sebab itu, untuk menghindari ketidakadilan dan diskriminasi model e-commerce terhadap perdagangan konvensional (offline), sesuai dengan SE-62 maka perlu diberlakukan ketentuan pajak umum bagi bisnis e-commerce, baik itu PPh maupun PPN.
Model Lima Langkah: Strategi Penerapan Pajak E-Commerce
Jika ditelisik lebih jauh, nampaknya belum ada model baku pemberlakuan pajak e-commerce di berbagai negara. Belum adanya rekomendasi sebagai acuan telah mendorong masing-masing negara memajaki transaksi e-commerce menurut caranya masing-masing.
Misalnya, di India menerapkan Equalization Levy, Australia menerapkan Multinational Anti Avoidance Law, Hungaria menerapkan Bit Tax, Inggris menerapkan Diverted Profit Tax. dan negara maju di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan memberlakukan PPN untuk pajak e-commerce.
Oleh sebab itu, Menteri Keuangan di berbagai negara pun kini tengah mengkaji model baku yang dapat digunakan sebagai referensi dalam menarik pajak transaksi e-commerce.
Mengamati kondisi tersebut, dalam upaya mencitakan pembangunan sistem perpajakan nasional melalui penerapan pajak yang baku bagi e-commerce maka setidaknya melalui Kementerian Keuangan pemerintah Indonesia dapat menempuh strategi yang disebut “Model Lima Langkah” sebagaimana dijabarkan berikut:
Pertama, melakukan benchmarking dan pengkajian bersama dengan negara-negara yang memiliki karakter yang mirip dengan Indonesia, misalnya negara di kawasan Asia Tenggara. Selanjutnya perlu disepakati rekomendasi yang mampu memfasilitasi kondisi setiap negara terkait. Hal ini perlu diperhatikan mengingat model yang akan ditetapkan oleh negara-negara sekawasan akan turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, setelah disepakati model baku yang hendak diterapkan pemerintah maka selanjutnya perlu untuk dilakukan pengkajian di dalam negeri dengan melibatkan berbagai entitas terkait, mulai dari pihak pemerintah hingga pelaku e-commerce. Dengan meningkatkan keterlibatan publik maka diharapkan keputusan model pajak e-commerce dapat berjalan efektif.
Ketiga, pemberlakukan pajak e-commerce dilakukan secara bertahap, misalnya pada uji coba tahun pertama pemerintah hanya menetapkan PPN untuk transaksi e-commerce.
Keempat, selama uji coba di tahun pertama pemerintah dapat melakukan edukasi dan penyuluhan pajak e-commerce di masyarakat, mulai dengan beriklan di media sosial, mengadakan seminar di berbagai universitas, hingga melakukan penyuluhan langsung ke masyarakat melalui komunitas-komunitas.
Terakhir, setelah melewati uji coba di tahun pertama maka selanjutnya pemerintah melakukan evaluasi untuk memastikan strategi yang ditetapkan masih berjalan dengan efektif.
Melalui strategi sederhana tersebut maka diharapkan model penerapan pajak e-commerce yang paling efektif bagi Indonesia dapat ditemukan. Jika pemerintah sigap dalam menanggapi wacana pajak e-commerce maka sudah tentu dapat dipastikan pajak e-commerce dapat menjadi salah satu pos penerimaan utama yang potensial.