LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Perlunya Redefinisi Penghasilan dan Pengenaan Pajak Kepemilikan Harta

Redaksi DDTCNews
Rabu, 28 September 2022 | 11.14 WIB
ddtc-loaderPerlunya Redefinisi Penghasilan dan Pengenaan Pajak Kepemilikan Harta

Fajarizki Galuh Syahbana Yunus,

Kabupaten Lumajang, Jawa Timur

EUFORIA kebangkitan ekonomi nasional masih berlanjut. Tren positif masih mampu dibukukan di tengah kembali bertambahnya kasus Covid-19 beberapa bulan terakhir. Tercatat tumbuh sebesar 5,44% (yoy), kinerja ekonomi Indonesia tampak moncer pada kuartal II/2022.

Optimisme terhadap perekonomian juga tampak dalam kesepakatan mengenai target penerimaan perpajakan pada 2023 senilai Rp2.021,2 triliun. Angka ini meningkat bila dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan pada 2022 senilai Rp1.784 triliun.

Dengan mengoptimalkan beberapa strategi, seperti hilirisasi manufaktur, penguatan ekonomi digital, serta peningkatan ekonomi hijau, harapan perbaikan ekonomi bisa terwujud. Selain itu, windfall beberapa sektor komoditas diperkirakan masih berlanjut meski tidak segarang tahun ini.

Namun demikian, mitigasi risiko secara intensif tetap sangat penting sebagai buffer dalam menghadapi potensi guncangan ekonomi pada tahun depan. Penyusunan kerangka kebijakan alternatif dalam mengantisipasi kondisi tersebut menjadi salah satu aspek yang sangat penting.

Dalam konteks ini, isu pemajakan atas orang kaya atau high net worth individuals (HNWI) layak diperbincangkan. Pasalnya, penggalian potensi pemajakan atas objek tersebut dapat menjadi opsi kebijakan yang menarik.

Hal tersebut mengingat jumlah orang kaya di Indonesia meningkat secara signifikan selama pandemi Covid-19 berlangsung. Berdasarkan pada data Wealth Report 2022 yang dirilis Knight Frank, terdapat 1.403 orang superkaya sepanjang 2021.

Kondisi ideal mengharapkan kontribusi penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi tumbuh seiring dengan bertambahnya jumlah orang kaya. Dengan demikian, redistribusi pendapatan dari si kaya ke si miskin dapat berlangsung dengan baik.

Namun, fakta yang terjadi malah sebaliknya. Kontribusi penerimaan PPh orang pribadi masih sangat minim. Data Laporan Kinerja (Lakin) Ditjen Pajak (DJP) pada 2021 menunjukkan capaian penerimaan PPh orang pribadi hanya senilai Rp149,7 triliun atau 11,7% dari total penerimaan pajak nasional.

Angka tersebut masih di bawah rata-rata negara Asia lainnya yang tercatat sebesar 17% (DDTC, 2022).Rendahnya tingkat kesadaran pajak merupakan salah satu faktor krusial penyebab kurang optimalnya capaian penerimaan PPh orang pribadi.

Tren perilaku penghindaran pajak yang cukup masif makin memperparah situasi. Menurut Saez (2019), upaya penghindaran pajak untuk memangkas pajak yang disetor cenderung gencar dilakukan masyarakat berpenghasilan tinggi.

Selain itu, kebijakan mengenai keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah juga masih menghadirkan banyak ketimpangan. Hal ini menyebabkan regulasi sering tidak tepat sasaran. Alhasil, rasio pertumbuhan jumlah orang kaya terhadap capaian realisasi penerimaan pajak tampak tidak sejalan.

Keberhasilan program pemulihan ekonomi nasional menyisakan beban finansial tersendiri. Dana jor-joran yang digelontorkan untuk berbagai insentif seakan menjadi pemberat postur APBN. Belum lagi, tantangan ketidakpastian global akan menjadi ancaman serius.

Kebijakan Pajak HNWI

PEMERINTAH melalui DJP hendaknya mulai merumuskan kebijakan pemajakan atas HNWI melalui berbagai langkah berikut. Pertama, meredefinisi konsep penghasilan dan warisan yang terdapat pada Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Sejauh ini, definisi penghasilan dalam Pasal 4 ayat (1) belum memuat unrealized gain atas kepemilikan aset sebagai salah satu komponen objek PPh. Bagaimanapun, sebagian besar kekayaan para pesohor berasal dari peningkatan valuasi atas aset yang mereka timbun selama bertahun-tahun.

Selain itu, definisi warisan sebagai bukan objek pajak belum pernah tersentuh meskipun beleid mengenai pajak penghasilan telah beberapa kali diubah. Padahal, fakta menunjukkan sebagian besar kekayaan yang dimiliki para konglomerat berasal dari peningkatan valuasi aset yang diwariskan secara turun-temurun.

Kedua, memberlakukan skema tarif pajak khusus atas kepemilikan harta berdasarkan data aktual per 1 Januari. Dengan sedikit mengadopsi model pemajakan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), skema tarif pajak khusus dapat dikenakan atas nilai unrealized gain tiap aset yang dimiiki wajib pajak orang pribadi.

Langkah tersebut dapat dioptimalkan dengan menghimpun data dan keterangan dari berbagai institusi, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bursa Efek Indonesia (BEI), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sinergi yang positif diharapkan dapat mendongkrak realisasi penerimaan PPh orang pribadi.

Ketiga, menyusun regulasi terkait dengan pemberian sanksi tegas bagi wajib pajak orang pribadi yang diketahui sengaja mengalihkan asetnya ke negara surga pajak. Langkah ini perlu diperkuat dengan pembaruan muatan substansi yang terdapat pada perjanjian penghindaran pajak berganda  (P3B). Dengan mengedepankan asas resiprokal, kesepakatan baru berpeluang dapat tercapai.

Potensi aktivitasi emigrasi HNWI secara masif merupakan efek samping yang tidak dapat terelakkan. Oleh karena itu, strategi exit tax ini perlu disiasati dengan pembaruan regulasi mengenai insentif pajak yang diselenggarakan secara berbarengan. Kebijakan reward and punishment diharapkan mampu menjaga keseimbangan proses bisnis pemungutan pajak pada masa depan. 

Argentina, Kolombia, dan Norwegia merupakan negara yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan pengenaan pajak atas kekayaan bersih (Tax Foundation, 2021). Dengan memberlakukan tarif khusus, rentang tarif yang ditetapkan berkisar antara 0,85% hingga 5,25%.

Berkaca pada kebijakan yang telah diaplikasikan negara lain, DJP dapat menerapkan tiga langkah tersebut guna memperkuat sistem regulasi yang ada saat ini. Memang sejumlah hambatan, seperti isu tax sovereignty, menjadi risiko yang tidak dapat dihindari.

Untuk mengantisipasi situasi tersebut, DJP tentunya harus menguatkan bargaining power. Hal ini untuk memastikan arah kebijakan yang ditetapkan agar lebih tepat guna. Dengan begitu, tantangan ketidakpastian global dapat terlewati hanya ‘dalam satu kedipan mata’. Harapan tercapainya target tinggi penerimaan pajak pun bukan hanya sebatas fatamorgana.  

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.