Galih Ardin,
MELALUI proses yang diskursif dan deliberatif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disahkan pemerintah bersama dengan DPR melalui Lembaran Negara Nomor 246 Tahun 2021.
Banyak materi baru yang terkandung dalam undang-undang yang lahir pada masa pandemi Covid-19 tersebut. Salah satu materi perubahan yang dimaksud adalah penambahan layer tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi.
Pasal 17 ayat (1) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP mengatur tarif PPh bagi orang pribadi dengan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar sebesar 35%. Dengan ketentuan ini, tarif PPh OP Indonesia berada pada posisi tertinggi di Asean, bersama dengan Vietnam dan Thailand (Shira, 2017).
Di sisi lain, Pasal 26 UU PPh mengatur tarif PPh atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri adalah 20%. Artinya, pajak yang dikenakan terhadap wajib pajak dalam negeri dengan penghasilan di atas Rp5 miliar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan PPh yang dikenakan untuk wajib pajak luar negeri.
Apabila fakta-fakta tersebut digabungkan, agaknya kita dapat membayangkan beberapa implikasi yang mungkin akan terjadi pada masa mendatang.
Pertama, terdapat kemungkinan wajib pajak dengan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar akan memecah dan mengalihkan penghasilannya menjadi non-cash, baik berupa fasilitas, kemudahan, maupun manfaat non-cash lainnya.
Memang, UU HPP juga mengatur natura dengan batasan tertentu tidak lagi dikecualikan dari objek pajak. Namun, sepanjang belum diatur lebih lanjut dalam aturan turunan atau sepanjang tarif pajak atas natura lebih rendah daripada tarif PPh orang pribadi, masih terdapat celah bagi wajib pajak berpenghasilan tinggi untuk mengalihkan penghasilannya dalam bentuk kenikmatan non-cash.
Kedua, dari sisi pemberi kerja yang memberikan tunjangan PPh Pasal 21, akan lebih menguntungkan untuk mempekerjakan wajib pajak luar negeri (ekspatriat) dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri. Hal ini terjadi jika penghasilan kena pajak karyawan atau profesional tersebut di atas Rp5 miliar.
Kondisi tersebut disebabkan adanya perbedaan tarif PPh Pasal 21 dengan PPh Pasal 26. Sebagaimana dijelaskan di atasm tarif tertinggi PPh Pasal 21 adalah sebesar 35%. Sementara tarif PPh Pasal 26 adalah 20%. Selain itu, apabila terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda dengan negara mitra, tarif PPh Pasal 26 tersebut dapat lebih rendah.
Dengan demikian, bagi pemberi kerja yang memberikan tunjangan PPh Pasal 21, akan lebih menguntungkan bila mempekerjakan pegawai atau profesional yang berstatus wajib pajak luar negeri karena tarif pajak yang lebih rendah.
Apabila kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin national competitiveness yang dimiliki bangsa Indonesia akan tergerus. Terlebih, pada era gig economy seperti saat ini, seorang pekerja asing dapat bekerja di mana saja dan kapan saja tanpa terikat batasan negara.
Hal tersebut senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Bucovetsky (1991). Apabila terdapat dua yurisdiksi perpajakan yang wajib pajaknya dapat dengan mudah untuk berpindah (mobile) maka yuridiksi dengan tarif pajak lebih rendah umumnya memiliki kondisi makro serta mikro-ekonomi yang lebih baik dan stabil.
Ketiga, dalam jangka panjang, perbedaan tarif PPh Pasal 17 dengan PPh Pasal 26 ini akan memicu terjadinya tax planning berupa income shifting atas penghasilan yang diterima oleh pemegang saham orang pribadi.
Bentuk tax planning yang dilakukan wajib pajak orang pribadi untuk memperoleh manfaat tarif pajak lebih rendah pun bermacam-macam. Misalnya, wajib pajak orang pribadi yang bertindak sebagai pemegang saham mengonversi penghasilannya sebagai dividen karena berdasarkan pada UU HPP, dividen bukan sebagai objek pajak (Merks, 2011).
UNTUK mengatasi kondisi ini pada dasarnya ada beberapa kebijakan yang dapat diambil pemerintah. Pertama, pemerintah harus segera menerbitkan aturan turunan yang mengatur mengenai subjek, objek dan batasan pajak atas natura (fringe benefit tax).
Pengaturan itu penting untuk menghindari adanya income shifting bagi high wealth individual. Sebagaimana diketahui, makin tinggi jabatan seseorang maka umumnya akan diikuti dengan penghasilan dan fasilitas lain yang melekat.
Dengan demikian, seseorang dengan penghasilan tinggi umumnya akan lebih mudah untuk melakukan shifting penghasilan tunai menjadi fasilitas atau kenikmatan lain. Oleh karena itu, penentuan subjek, objek dan threshold atas fringe benefit tax menjadi krusial untuk diterapkan.
Kedua, pemerintah perlu mencegah human capital outflow karena perbedaan tarif pajak penghasilan sekaligus menjaga national competitiveness terhadap sumber daya manusia dalam negeri di tengah gempuran gig economy dan crowdfunding.
Langkah yang bisa ditempuh adalah dengan memberikan insentif. Bentuknya bisa pengurangan tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang menginvestasikan sebagian penghasilannya ke dalam instrumen derivatif di dalam negeri, seperti surat utang negara, saham, obligasi dan lain sebagainya.
Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan insentif bagi perusahaan asing yang memberikan know-how bagi wajib pajak dalam negeri.
Dalam jangka pendek, pemberian insentif ini memang akan meningkatkan tax expenditure. Namun demikian, dalam jangka panjang, kebijakan ini akan memperkuat sumber daya manusia Indonesia dan national competitiveness. Akhirnya, ada potensi peningkatan setoran pajak.
Namun demikian, perlu diingat, pemberian insentif terhadap high wealth individuals (HNWI) harus dilaksanakan secara hati-hati.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hope dan Limberg (2022), pemotongan pajak terhadap orang kaya akan memicu terjadinya kesenjangan pendapatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, pemotongan pajak terhadap the rich tidak membawa pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran.
Ketiga, untuk mencegah adanya tax planning berupa income shifting atas transaksi afiliasi yang melibatkan high wealth individual taxpayers, pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap beneficial owner.
Selain itu, untuk mencegah aggressive tax planning atas perbedaan tarif pajak, pemerintah juga dapat memberikan insentif atau kompensasi terhadap manajemen wajib pajak. Contohnya dalam bentuk kemudahan pelaporan, pengembalian dipercepat, dan penghapusan denda.
Penelitian yang dilakukan Armstrong et al (2012) menemukan terdapat korelasi negatif antara insentif yang diberikan terhadap manajemen perusahaan dengan effective tax rate. Artinya, manajemen yang diberikan kompensasi atau fasilitas perpajakan umumnya akan mengurangi beban pajak yang dilaporkan dalam laporan keuangan dibandingkan dengan manajemen yang tidak diberikan fasilitas.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Graham et al (2014). Hasil penelitian tersebut menyatakan insentif dalam akuntansi dan keuangan berperan penting untuk mengurangi aggressive tax planning.
Pada akhirnya kita berharap kebijakan perpajakan, terutama bagi wajib pajak orang kaya, dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat dan menciptakan keadilan bagi seluruh wajib pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.