Ria Mawaddah,
ORANG kaya—milenial biasa menyebutnya crazy rich—memang selalu menjadi perhatian semua pihak, tidak terkecuali pemerintah.
Berdasarkan pada laporan Knight Frank Wealth Sizing Model (2022) populasi high net worth individuals (HNWI) di Indonesia pada 2021 mencapai 82.012 orang. Orang dengan kekayaan di atas US$1 juta itu diperkirakan bertambah 63% menjadi 134.015 orang pada 2026.
Secara tidak langsung, Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merespons proyeksi tersebut. Ada kenaikan tarif tertinggi pajak penghasilan (PPh) orang pribadi menjadi 35%. Tarif tertinggi itu berlaku untuk lapisan penghasilan kena pajak lebih dari Rp5 miliar dalam setahun.
Merujuk pada laporan Kementerian Keuangan, jumlah wajib pajak berpenghasilan di atas Rp5 miliar sangat sedikit, yaitu sekitar 0,1% dari total wajib pajak. Meskipun jumlahnya sedikit, akumulasi kekayaan kelompok ini cukup besar.
Tidak mengherankan jika selain PPh orang pribadi, mereka juga dihadapkan pada kewajiban pembayaraan pajak passive income yang berasal dari royalti, pendapatan sewa, bunga, capital gain, dan penghasilan saham.
Namun demikian, sangat disayangkan, kontribusi orang kaya terhadap total penerimaan pajak pada APBN 2020 kurang dari 1%. Capaian ini sangat rendah bila dibandingkan dengan kontribusi dari orang pribadi karyawan yang mempunyai porsi 21,79%.
DALAM ilmu sosiologi, kita mengenal kebutuhan manusia menurut teori Maslow. Salah satu kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri. Kebutuhan inilah yang saat ini sedang dan selalu diupayakan orang-orang kaya, terutama orang kaya baru di Indonesia.
Tidak mengherankan jika kita banyak menjumpai perilaku flexing atau pamer harta melalui media sosial. Penggunaan media sosial memang menjadi sangat masif.
Terlebih, menurut laporan Smart Insights dari Inggris pada awal 2022, pengguna media sosial mencapai 4,6 miliar orang atau lebih dari separuh populasi dunia (58,4%). Indonesia tercatat sebagai pengguna media sosial ke-4 terbesar setelah China, India, dan Amerika pada 2021.
Fenomena dan data tersebut mengindikasikan adanya peluang membidik orang-orang kaya baru. Selain itu, perlu juga untuk mendorong mereka menunjukkan bahwa orang kaya yang tak hanya berada, tetapi juga taat pada aturan pajak.
Dorongan tersebut juga bisa ditempuh dengan mengadopsi fenomena gencarnya warganet atau netizen yang sering membuat viral suatu topik atau isu. Hal ini bisa menjadi opsi kebijakan terkait dengan perlakuan terhadap HNWI melalui skema reward and punishment.
Reward bagi wajib pajak orang kaya bukanlah materi, tetapi kenaikan citra dan penghargaan dari masyarakat. Dengan demikian, usaha dan diri mereka bisa eksis.
Pemberian reward harus dibarengi dengan acara yang tidak hanya dihadiri oleh pejabat, tetapi juga youtuber atau influencer. Dengan demikian, ada rapid information kepada masyarakat yang pada akhirnya membuat pajak orang kaya menjadi viral dan transparan.
Menurut studi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), beberapa negara berhasil membuktikan relasi antara otoritas pajak dan kalangan orang kaya yang berbasis kerja sama, keterbukaan, dan transparansi mampu meningkatkan rasa kepercayaan orang kaya.
Reward menjadi viral juga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan omzet usaha wajib pajak HNWI, pembelian saham, dan tingkat produksi. Walaupun belum ada penelitian mengenai hal ini, tetapi dapat dilihat bahwa isu yang viral benar-benar memengaruhi psikologis konsumen di Indonesia. Apalagi, penggunaan media sosial juga sangat masif dewasa ini.
Pemerintah juga tidak hanya bisa mengambil kebijakan denda sebagai punishment orang kaya yang tidak taat pajak. Dengan ‘jurus viral’, orang kaya akan mendapat punishment secara psikologis melalui perasaan fear of missing out (FOMO) atau takut ketinggalan.
Selain itu, ada punishment secara psikologis berupa social media comparision atau membandingkan diri dengan orang kaya taat pajak. Wajib pajak ini juga akan mendapatkan punishment berupa ketidakpercayaan masyarakat.
Sejatinya, pajak memiliki sistem self-assessment. Dengan demikian, pembayaran pajak berdasar pada kesadaran diri. Jangan sampai orang kaya merasa pajak sebagai ‘hukuman’ atas produktivitas mereka sehingga pendapatan mereka harus dibagi melalui pembayaran pajak yang besar.
‘Jurus viral’ secara tidak langsung menjadi senapan yang tepat sasaran untuk memburu para crazy rich agar memenuhi kewajiban pajak dengan pendekatan psikologis.
Jurus ini harus dibarengi dengan upaya pemerintah untuk membuat basis data yang lengkap dan terpercaya mengenai orang kaya di Indonesia. Mulai dari data perusahaan, aliran uang, saham hingga jumlah kekayaan.
Pemerintah juga harus adil dalam menentukan kelayakan pengenaan pajak bagi orang kaya. Dengan demikian, perlu koneksi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Harapannya, tercipta cooperative compliance atas dasar kesadaran diri, kepasatian hukum, dan keadlian dalam sistem perpajakan di Indonesia.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.