Victori Kristian Adi Nugroho,
PANDEMI Covid-19 mulai berangsur usai. Namun, permasalahan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.
Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 3,69%. Pada 2018 –sebelum ada pandemi— ekonomi masih dapat tumbuh 5.17%. Dengan demikian, dapat dikatakan perekonomian Indonesia pada saat ini belum bergerak optimal.
Kondisi tersebut diperkuat dengan angka pengangguran yang tinggi. Menurut data BPS, pada Februari 2022, tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 5,83% atau 8,4 juta orang. Persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54% dengan jumlah sebanyak 26,16 juta orang.
Kemudian, pada Maret 2022, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan gini ratio sebesar 0,384. Indikator kemiskinan dan ketimpangan berisiko memburuk mengingat ada proyeksi kenaikan tingkat inflasi dengan catatan 4,35% pada Juni 2022.
Di sisi lain, menurut data Wealth Report 2022 yang dirilis Knight Frank, jumlah orang Indonesia dengan kekayaan bersih US$30 juta pada 2021 mencapai 1.403 orang. Jumlah ultra high net worth individuals (UHNWI) tersebut mengalami peningkatan 1% bila dibandingkan dengan posisi pada 2020.
Penduduk Indonesia dalam kelompok high net worth individuals (HNWI)—dengan kekayaan bersih US$1 juta—diproyeksikan mengalami kenaikan 63% dalam kurun 5 tahun sejak 2021-2026 menjadi 134.015 orang. Dari data ini, dapat disimpulkan masih adanya kesenjangan ekonomi yang tinggi.
Kesenjangan ini sudah terjadi sangat lama. Oleh karena itu, pajak dapat hadir sebagai penyeimbang kesenjangan. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation, ada asas equality of tax, yaitu keseimbangan dan keadilan. Pengenaan pajak harus menyesuaikan kemampuan dan juga penghasilan yang diperoleh wajib pajak.
W. J. Langen mengemukakan hal serupa dengan asas daya pikul. Dengan asas ini, orang yang kaya dikenakan pajak lebih tinggi untuk membantu orang miskin. Dengan demikian, kesenjangan sosial yang begitu tinggi dapat diturunkan.
Di Indonesia sendiri, ada asas equality of tax. Hal ini dapat dilihat dari pengenaan pajak penghasilan (PPh) bagi wajib pajak orang pribadi (WP OP) dengan tarif progresif. Makin tinggi pendapatan yang diperoleh akan makin besar PPh-nya.
Pada 2022, pengenaan PPh bagi HNWI di Indonesia menggunakan lapisan tarif tertinggi, yakni sebesar 35%. Tarif ini berlaku untuk WP OP dengan penghasilan kena pajak lebih dari Rp5 miliar per tahun. Namun, tarif ini relatif masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lain.
Mengutip data Trading Economics, posisi negara dengan tarif tertinggi adalah Pantai Gading (60%). Kemudian, ada Finlandia (56,95%) dan Jepang (55,97%).
Artinya, masih sangat mungkin bagi Indonesia untuk menaikkan lapisan tarif tertinggi untuk mendorong keadilan dan menekan kesenjangan. Namun, hal ini bisa diterapkan dengan catatan ada kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah.
Banyak dijumpai adanya trust issue masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini muncul karena banyaknya kasus penyalahgunaan dana oleh otoritas, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang mahal, serta fasilitas umum dan infrastruktur yang belum maksimal.
Dengan demikian, masyarakat berpikir tidak mendapatkan manfaat langsung atau tidak langsung dari pembayaran pajak. Transparency Internasional merilis indeks persepsi korupsi (IPK) 2021 Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara.
MENURUT Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dikutip dari artikel DDTCNews, terdapat beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mengenakan pajak terhadap HNWI.
Pertama, kompleksitas sumber pemasukan keuangan melalui skema bisnis teratur dan masif oleh HNWI. Kedua, HNWI memiliki kemampuan untuk melakukan tax planning secara masif dan agresif dengan menyewa ahli perpajakan. HNWI dapat melakukan tax evasion dan menjadikanya seolah-olah tax avoidance dengan berbagai macam cara yang sulit teridentifikasi.
Mengambil data dari The OECD’s Project on High Net Worth Individuals: Society of Trust and Estate Practitioners (STEP) Response to the OECD Public Discussion Paper issued on 30 October 2008, ada beberapa catatan untuk menangani pemajakan terhadap HNWI.
Pertama, perbaikan dari administrasi pajak dengan memahami berbagai macam risiko penghindaran pajak dari WP HNWI. Otoritas juga diharapkan dapat menyelesaikan masalah dengan mengutamakan dialog resmi ketimbang konfrontasi.
Dialog juga dilakukan dengan pihak lain seperti konsultan/ahli perpajakan, perbankan, dan pihak ketiga lain untuk mendapatkan informasi. Oleh karena itu, peran dari pihak swasta dianggap sangat penting dalam membantu penegakan ini.
Kedua, pembentukan unit khusus dalam penanganan perpajakan HNWI. Tugasnya sebagai kolektor pengetahuan dan praktik penyelewangan pajak oleh HNWI. Pelaksanaannya memerlukan keselarasan tingkat bawah hingga atas pada otoritas berwenang untuk menghindari celah kongkalikong antara otoritas dan HNWI.
Ketiga, pelaksanaan program penungkapan pajak sukarela. Hal ini guna mendorong HNWI dapat mengungkapkan harta-hartanya secara legal of tax. Indonesia sendiri sudah melakukan hal ini dengan adanya tax amnesty (2016) dan program pengungkapan sukarela atau PPS (2022).
Terkait dengan penanganan pajak HNWI, International Monetary Fund (IMF) juga memberi catatan tentang penggunaan compliance risk management (CRM). Adapun CRM digunakan untuk mengidentifikasi tingkatan risiko kepatuhan.
Identifikasi profil risiko kepatuhan ini penting mengingat berbagai macam cara dapat dilakukan HNWI untuk menghindari pajak. Salah satu contohnya dengan pembelian barang mewah yang tidak dapat ditelusuri otoritas.
Bisa juga dengan pemecahan harta yang bersifat illegal, sehingga tidak terlacak saat proses profiling. Kemudian, dapat juga memanfaatkan celah tax treaty serta menginvestasikan dan menyembunyikan hartanya ke negara tax heaven.
Dengan terbitnya Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kita harus mengapresiasi adanya kenaikan tarif tertinggi PPh menjadi 35% dan pelebaran rentang penghasilan kena pajak pada lapisan tarif terendah 5%.
Selain itu, penggunaan NIK sebagai NPWP merupakan kebijakan yang sangat penting dan vital dalam meningkatkan kepatuhan perpajakan. Integrasi data NIK dan NPWP akan makin memperkecil ruang atau risiko untuk melakukan penyelewengan pajak dari HNWI.
Hal tersebut juga didukung dengan sinkronisasi data perbankan dan pembelian aset mewah, seperti tanah/bangunan dan mobil, sebagai penunjang penegakan hukum pajak. Ujungnya, equality of tax dapat terlaksana dengan baik.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.