Jai Kumar,
LIMBAH merupakan hasil buangan baik yang dihasilkan dari proses produksi maupun kegiatan rumah tangga (domestik). Tidak hanya dari kedua hal tersebut, alam juga dapat menghasilkan limbah. Limbah jenis ini biasanya tidak dikehendaki karena tidak memiliki nilai ekonomis.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat pengembangan industri cukup tinggi. Hal ini membuat Indonesia dapat dikatakan sebagai negara semi-industri. Namun, hingga saat ini, masih belum ada perhatian yang besar terhadap limbah hasil produksi.
Akhir-akhir ini, topik pencemaran limbah terhadap lingkungan menjadi pembicaraan yang hangat di berbagai media. Apalagi, dampak yang dihasilkan limbah berupa wabah penyakit yang menyerang penduduk di sekitar lingkungan industri.
Keberadaan limbah industri yang menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan perlu ditangani. Para pelaku industri diharapkan tidak hanya memikirkan keuntungan yang tinggi dari produksi dan mengesampingkan pengolahan limbah hasil industri.
Untuk mengontrol limbah industri yang berbahaya tersebut, pemerintah bisa menggunakan instrumen perpajakan, terutama cukai. Selain untuk menambah penerimaan negara, pengenaan cukai mempunyai fungsi utama sebagai pengendali eksternalitas negatif.
Limbah hasil industri memiliki karakteristik yang cukup serupa dengan emisi karbon. Adapun pajak atau cukai atas emisi karbon telah dikenakan di berbagai negara di dunia. Dalam contoh yang sederhana, industri (pabrikasi) akan menghasilkan limbah (cair, padat, dan gas) yang merupakan produk sisa (scrap).
Kualitas limbah yang dihasilkan setiap mesin berbeda-beda. Untuk penanganan limbah, dimungkinkan adanya pengenaan cukai atas limbah yang dihasilkan industri di Indonesia. Pengenaan cukai ini tidak menghilangkan kewajiban penyelenggaran corporate social responsibility (CSR) bagi perusahaan.
Pengenaan cukai atas limbah industri juga akan menghasilkan dua manfaat bagi negara. Selain menimbulkan adanya penerimaan negara, setiap industri akan berlomba untuk mengurangi limbah yang dihasilkan.
Dengan demikian, selain munculnya penerimaan negara, kelestarian terhadap lingkungan juga akan terbentuk. Cukai yang akan dikenakan atas limbah pabrik dapat dilakukan dalam bentuk atau jenis objek baru. Secara sederhana, cukai terutang adalah besarnya tarif dikalikan dengan objek cukai.
Pemerintah melalui Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) dapat menetapkan tarif yang sesuai. Terkait dengan objek, nilai limbah industri harus dapat ditetapkan atau dikonversi dalam bentuk uang. Penetapan nilai objek dalam jenis ini dapat menggunakan skema yang mirip dengan pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) yakni nilai jual objek pajak (NJOP).
Perlu adanya pengelompokan nilai per jenis limbah, baik untuk limbah cair, limbah padat, maupun limbah gas. Tentunya nilai objek akan makin tinggi apabila dampak dari limbah tersebut makin besar terhadap lingkungan.
Di sisi lain, berdasarkan pada hasil wawancara terhadap pelaksana DJBC serta penyuluh pajak Ditjen Pajak (DJP), insentif fiskal yang dapat diterapkan terhadap cukai limbah bisa bermacam-macam. Beberapa model insentif fiskal untuk mengurangi beban cukai seperti penerapan mekanisme pengurang layaknya batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dalam pajak penghasilan (PPh) atau nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) dalam PBB.
Mekanisme pengurang ini dibuat dengan cara menetapkan batas jumlah limbah buangan yang wajar suatu industri. Apabila jumlah limbah yang dibuang dalam suatu masa (bulan) belum melebihi ambang batas tersebut, pelaku industri tersebut akan bebas dari pengenaan cukai.
Dalam contoh yang sederhana terkait dengan limbah cair, misalnya, ambang batas tidak kena cukai yang ditetapkan adalah 1.000 liter per bulan. Jika industri menghasilkan limbah 1.200 liter selama satu bulan, cukai yang dikenakan adalah atas limbah 200 liter.
Jumlah limbah sebanyak 200 liter tersebut harus dikonversi ke dalam nilai uang seperti skema NJOP. Kemudian, hasil konversi tersebut dikalikan dengan tarif yang berlaku sehingga diperoleh nilai cukai terutang atas 200 liter limbah tersebut.
Selain itu, insentif lain yang dapat diterapkan dapat menggunakan konsep nilai kena cukai. Adapun nilai kena cukai adalah sebuah tarif (persentase) yang dikalikan dengan nilai objek yang sudah ditetapkan.
Besarnya persentase nilai kena cukai ini dapat ditentukan berdasarkan tingkatan bahaya dari suatu limbah. Limbah bahan berbahaya beracun (B3) terdiri dari beberapa karakteristik. Besarnya nilai kena cukai dapat ditetapkan berdasarkan karakteristik tersebut.
Misalnya, nilai kena cukai untuk limbah mudah meledak sebesar 50%, limbah mudah terbakar sebesar 60%, limbah beracun sebesar 70%, limbah yang menyebabkan infeksi sebesar 80%, lmbah bersifat korosif sebesar 90%, dan limbah bersifat reaktif sebesar 100%.
Persentase yang tercantum di atas hanyalah sebuah contoh. DJBC dapat menentukan sendiri besarnya persentase nilai kena cukai berdasarkan pada kajian yang lebih dalam. Tentunya, makin berbahaya suatu limbah maka makin tinggi nilai kena cukainya.
Penggunaan skema ini tentunya akan menimbulkan kesan keadilan dalam pengenaan cukai itu sendiri. Penentuan persentase nilai kena cukai juga dapat menggunakan tingkat kebahayaan dari suatu limbah. Tingkat kebahayaan ini dapat di ukur secara kimia melalui chemical oxygen demand (COD) atau biologycal oxygen demand (BOD).
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.