Siswanto,
RELAKSASI pajak sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia sudah ditebar melalui PMK 23/PMK.03/2020 berikut turunan dan perubahannya. Mulai dari PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, PPh Pasal 22 dibebaskan, pengurangan PPh Pasal 25 dan PPN pengembalian pendahuluan.
Sejak triwulan I/2020 berbagai insentif tersebut digulirkan hingga menjelang triwulan III/2020. Namun, semua insentif tersebut tidak bisa menghindarkan perekonomian Indonesia dari resesi. Terlihat dibutuhkan relaksasi yang lebih luas lagi agar tak terjerumus ke jurang depresi.
Relaksasi PPh 21 tidak signifikan menambah daya beli masyarakat karena tambahan nilainya tidak signifikan. Tambahan penghasilan tersebut hanya sebanding dengan tambahan pengeluaran untuk kebutuhan work from home (WFH) dan pelajaran jarak jauh (PJJ).
PPh pasal 22 impor tidak memberikan pengaruh langsung karena perlakuan pajaknya sebagai pengurang PPh badan. PPh 22 angsuran PPh 25 juga tidak mengurangi tarif pajak. Sama halnya dengan PPN pengembalian pendahuluan, yang lebih merupakan kewajiban fiskus, bukan relaksasi.
Relaksasi yang digulirkan harus diakui cukup membantu dunia usaha dan karyawan berpenghasilan menengah ke bawah. Namun, belum efektif menggerakkan sektor ekonomi secara keseluruhan. Bisa jadi, hal ini disebabkan konsep relaksasi yang setengah hati.
PPh Pasal 22 dan 25 lebih memundurkan pendapatan negara dari pajak mengingat tarif PPh Badan tetap 22%. Lalu, dengan relaksasi yang sudah digulirkan dan belum mampu menghindarkan diri dari resesi apakah tidak perlu ditambahkan relaksasi-relaksasi yang lain?
Atas relaksasi yang digulirkan tersebut, ternyata pemerintah masih merasa belum cukup, terbukti dengan diberikannya bantuan tunai bagi karyawan berpenghasilan di bawah Rp5 juta dan bantuan langsung bagi masyarakat miskin.
Tentu mengecewakan jika relaksasi dan guyuran dari pemerintah melalui program bantuan langsung tunai itu tidak mampu menghindarkan dari resesi ekonomi. Menjadi pelik tentunya jika relaksasi belum bisa optimal mendongkrak perekonomian.
Lebih Radikal
PANGKAL masalah semua ini sebenarnya ada pada pandemi Covid-19. Jika pemerintah bisa mengatasi atau melokalisasi wabah agar tidak merembet ke seluruh negeri, tentu akan memudahkan kembalinya ekonomi bergerak normal ataupun new normal.
Memang, pandemi telah memakan korban langsung. Banyak perusahaan memangkas produktivitas karena rendahnya permintaan dan seterusnya, maka dibutuhkan stimulus atau relaksasi yang lebih radikal, yaitu pengurangan/penghapusan PPN dan pengurangan tarif PPh badan 50%.
Pengurangan tarif PPN dimungkinkan sesuai dengan UU No. 42 Tahun 2009. Tarif PPh badan yang berkurang 50% dapat memanfaatkan status Covid 19 yang ditetapkan sebagai bencana nasional. Harga barang menjadi lebih terjangkau, dan dunia usaha bisa lebih menghemat cash flow.
Tarif PPN dapat berubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya cukup diatur oleh peraturan pemerintah. Jika tarif PPN untuk semua barang dan jasa diturunkan, tentu akan dapat menggenjot permintaan konsumsi rumah tangga.
Jatuh tempo pembayaran PPh badan pada Januari-April setelah tahun pajak berakhir bisa menjadi momok bagi perusahaan yang terimbas resesi di triwulan III/2020. Pada triwulan IV/2020 pun belum ada jaminan kapasitas produksi dan penjualan bisa ditingkatkan.
Jika tarif PPh badan tetap 22% tentu pada awal 2021 perusahaan tidak berani memulai anggaran dengan optimistis karena belanja pembayaran PPh badan. Berbeda kondisinya jika diberikan relaksasi diskon tarif hingga 50% tentu menjadi lecutan untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Dengan lebih terjangkaunya harga barang dan penghematan pengeluaran pajak bagi dunia usaha setidaknya ada harapan resesi akan cepat berlalu hingga tidak terjadi depresi. Jangan sampai tekad mempertahankan pendapatan negara justru malah mematikan ekonomi.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.