Indrajaya Burnama
Semarang,
PADA 24 Juli 2019 , OECD merilis daftar rasio pajak beberapa negara di Asia Pasifik. Laporan tersebut disusun berdasarkan data tahun 2017. Namun, sangat disayangkan rasio pajak Indonesia berada di posisi juru kunci. Bahkan masih di bawah rasio pajak negara anggota OECD lain.
Terlepas dari pro-kontra penggunaan rasio pajak sebagai alat ukur kinerja perpajakan, laporan itu selayaknya disikapi bijak sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan masyarakat. Masalah pajak hakikatnya merupakan tanggung jawab bersama komponen bangsa (Firmanzah, 2013).
Menurut laporan tersebut, ada beberapa penyebab rendahnya rasio pajak Indonesia. Salah satunya rendahnya keterbukaan perdagangan dan tingginya penghindaran pajak. Hal ini sangat beralasan karena dalam praktik ada pengisian faktur pajak dengan NPWP 00.000.000.0-000.000 atau 000.
Ada sebagian wajib pajak yang ingin menghindar dari kewajiban pajak dengan menyembunyikan identitas dirinya ke penjual. Begitu pula, ada penjual yang menuliskan NPWP pembeli 000 di faktur pajak keluarannya karena memang tidak peduli atau ingin menarik pelanggan sebanyak-banyaknya.
Akibatnya, pemerintah kesulitan melakukan pengecekan atas kebenaran transaksi tersebut. Adanya praktik seperti di atas sebenarnya dapat dimaklumi lantaran penafsiran yang tidak tepat terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.
Kesalahan yang dilakukan secara berulang kali akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran umum. Kesalahan itu terutama dalam mengimplementasikan Pasal 13 ayat (5) poin (b) UU PPN 1984 jo. Pasal 14 ayat (1) poin (e) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kemudahan bagi penjual untuk tidak mencantumkan identitas pembeli sejatinya hanya diperbolehkan bagi PKP Pedagang Eceran ketika melakukan penjualan ke konsumen akhir. Namun, faktanya banyak penjual bukan PKP pedagang eceran dan pembeli bukan konsumen akhir memanfaatkan celah itu.
Ada hubungan mutualisme antara penjual dan pembeli yang sama-sama menghindar dari kewajiban pajak. Para pembeli itu menjual kembali barang yang dibeli tanpa membayar pajak sama sekali atas penghasilan yang diterimanya atau biasa dikenal dengan istilah shadow economy.
Seperti pendapat Terkper, mereka melakukan aktivitas ekonomi dan memperoleh penghasilan tetapi tidak terdaftar sebagai wajib pajak. Akhirnya, memperlebar jarak antara jumlah wajib pajak terdaftar dan yang potensial terdaftar, sehingga ada sebagian potensi penerimaan pajak yang menguap.
Jika dikaitkan dengan pendapat Schneider dan Enste, para penjual dan pembeli dengan faktur pajak 000 itu terlibat dalam aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap produk domestik bruto, tetapi aktivitasnya sama sekali tidak terdaftar.
Lebih lanjut, menurut Misbakhun ada potensi pajak pertambahan nilai (PPN) yang hilang sebesar 600 triliun dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang berjumlah sekitar Rp15.000 triliun. Belum lagi potensi pajak penghasilan (PPh) yang bocor. Jadi, sangat wajar rasio pajak kita rendah.
Tutup Celah Pajak
BERKACA dari fakta di atas, maka pemerintah harus menutup celah pajak faktur 000 secepat mungkin. Salah satu caranya adalah mewajibkan penjual untuk mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) bagi pembeli yang tidak ber-NPWP atau NPWP 000.
Kebijakan ini memang tidak populis tetapi mutlak dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak melaksanakan kewajiban pajak. Sebagai informasi, pencantuman NIK bagi pembeli yang tidak ber-NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sebenarnya bukan ide baru.
Masih segar dalam ingatan penolakan sebagian masyarakat dengan dalih belum siap melaksanakan regulasi. Akhirnya, rencana pemberlakuan Perdirjen Nomor Per-26/PJ/2017, Perdirjen Nomor Per-31/PJ/2017 dan Perdirjen Nomor Per-09/PJ/2018 ditunda dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Akan tetapi, tidak terasa sudah 2 tahun penundaan kewajiban untuk mencantuman NIK bagi pembeli yang tidak ber-NPWP atau NPWP 000 itu. Kini, sudah saatnya pemerintah mengkaji kembali kesiapan infrastruktur dan PKP yang menghambat pelaksanaan regulasi.
Untuk itu, semua pihak harus berkontribusi. Tidak masalah besaran pajak yang dibayar sepanjang penghitungannya jujur dan terbuka sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seperti pendapat Firmanzah, pajak adalah tanggung jawab kita bersama. Bukan salah satu pihak saja.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.