LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Urgensi Menyusun Aturan Domestik Offshore Indirect Transfer of Asset

Redaksi DDTCNews
Kamis, 16 Oktober 2025 | 15.00 WIB
Urgensi Menyusun Aturan Domestik Offshore Indirect Transfer of Asset
Ririn Wahyuni Nasrul,
Kota Tangerang Selatan, Banten

LAPORAN World Bank berjudul The Taxation of Offshore Indirect Transfers (OIT) - A Toolkit (2018) mendefinisikan offshore indirect transfer of asset sebagai praktik penjualan entitas atau saham dari entitas yang berlokasi di satu negara oleh penduduk negara lain.

Secara legal formal, pengalihan ini tidak mengubah legalitas pemilik harta. Namun, secara materiil telah terjadi pengalihan atas penguasaan harta. Dari segi perpajakan, disinyalir terdapat praktik penghindaran pajak atas keuntungan pengalihan harta tersebut.

Dalam perkembangannya, pengalihan harta secara tidak langsung terjadi secara bertingkat, melalui penjualan saham perusahaan intermediary di negara lainnya.

Sebagai ilustrasi, X Corp. di Jepang menjual kepemilikan saham Y Pty. di Singapura. Kondisinya, Y Pty. memiliki PT Z yang mengusai harta tak bergerak di Indonesia. Nilai keuntungan atas penjualan saham intermediary secara tidak langsung dikontribusikan oleh kinerja harta yang berlokasi di Indonesia.

Ekonomi global memberikan keleluasaan bagi multinational company (MNC) untuk melakukan aksi korporasi ini melalui perusahaan intermediary di negara yang memberikan beragam insentif perpajakan seperti Hong Kong dan Singapura. Sejatinya, hak pemajakan atas keuntungan pengalihan harta tak bergerak dimiliki oleh negara tempat harta berlokasi.

Namun, melalui skema tadi, keuntungan tesebut tidak dapat dipajaki negara sumber. Skema ini juga dipotret sebagai aksi penghindaran pajak oleh OECD. MNC dimaknai mengalihkan harta tak gerak yang berada di bawah penguasaannya.

Pada 2017, sebagai bagian BEPS Action 15, OECD mengembangkan Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (MLI) yang telah disepakati negara-negara di dunia termasuk Indonesia.

MLI memperkuat posisi artikel 13 ayat (4) yang mengatur mengatur bahwa keuntungan atas pengalihan saham di suatu negara dapat dipajaki oleh negara lain di mana 50% nilai saham berasal dari harta tak gerak yang berlokasi di negara lain tersebut. MLI ini berdampak terhadap 71 P3B yang dimiliki Indonesia. Hingga saat ini, MLI telah mengubah 42 P3B dan akan terus bertambah, yang memberikan hak pemajakan kepada Indonesia atas OIT.

Pengalihan saham oleh MNC memang melibatkan nilai yang besar. Praktik ini umum terjadi di era transaksi lintas batas negara, yang secara sengaja atau tidak sengaja dilakukan untuk penghindaran pajak.

Banyak negara telah menangani praktik ini dengan memberlakukan aturan domestik yang komprehensif termasuk di Australia, China, dan Jepang. Indonesia sendiri memiliki KMK Nomor 434/KMK.04/1999 s.t.d.d. PMK 81/2024 yang mengatur Pemotongan PPh Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) selain BUT atas Keuntungan dari Penjualan Saham. Namun, beleid itu tidak secara komprehensif mengatur OIT.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dalam 10 tahun terakhir investasi asing secara langsung di Indonesia meningkat pesat. Potensi ini belum dapat sepenuhnya dieksekusi di Indonesia melalui KMK 434.

Di sektor migas, terdapat PP 93/2021 yang mengatur perlakuan PPh atas pengalihan partisipasi interes pada kegiatan usaha hulu migas. Partisipasi interes sendiri merupakan hak, kepentingan, dan kewajiban kontraktor berdasarkan kontrak kerja sama di bidang migas. Dengan ini, pengalihan penguasaan secara tidak langsung di industri migas dapat dikenakan pajak final di Indonesia.

Selain PP 93/2021, perpajakan atas OIT untuk sektor lainnya tidak diatur secara khusus.

Model Pemajakan Atas Offshore Indirect Transfer of Asset

PPh Pasal 26 ayat (2) UU PPh mengamanatkan pemotongan PPh wajib pajak luar negeri atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia. Kemudian, Pasal 26 ayat (3) pada beleid yang sama mengatur lebih lanjut bahwa pelaksanaan ketentuan tersebut berdasarkan peraturan menteri keuangan (PMK).

KMK 434 sendiri terbatas mengatur OIT of asset atas skema penjualan saham di dalam negeri. Peraturan lainnya terkait pengalihan saham oleh wajib pajak luar negeri adalah PMK 258/2008 yang mengatur pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan dari pengalihan saham antara yang berada di tax haven country yang mempunyai hubungan Istimewa, dan perusahaan di Indonesia. Namun, pengaturan tersebut sangat terbatas.

Sehubungan dengan kondisi ini, penulis berpendapat terdapat urgensi untuk segera menerbitkan pengaturan domestik yang komprehensif atas pajak dari penghasilan OIT. Aturan ini diperlukan untuk mengamankan hak pemajakan yang telah ada tanpa adanya distorsi kondisi ekonomi a quo.

Pemerintah dapat menetapkan model pengaturan artikel 13 ayat (4) OECD Model, seperti pola di KMK 434, PP 93/2021, atau kombinasi atas aturan-aturan tersebut.

Pengaturan OIT akan memiliki ketentuan utama bahwa atas penghasilan dari keuntungan yang diperoleh wajib pajak luar negeri dari pengalihan saham dikenakan pajak di Indonesia. Syaratnya, saham tersebut memperoleh lebih dari 50% nilainya secara langsung atau tidak langsung dari harta tak gerak di Indonesia.

Ketentuan ini akan mencakup seluruh skema OIT dengan syarat perhitungan persentasi kepentingan juga diatur jelas.

Terkait dengan mekanisme pemotongan dan pemungutan, pemerintah dapat mengadopsi pengaturan KMK 434. Jika pembeli merupakan wajib pajak dalam negeri maka pembeli akan bertindak sebagai pemotong. Sebaliknya, apabila bukan wajib pajak dalam negeri maka perseroan (pemilik harta) ditunjuk sebagai pemungut pajak.

Namun, untuk pengawasan yang lebih baik, sebaiknya mekanisme pemajakan dapat mengikuti mekanisme PP 93/2021. Atas penghasilan wajib pajak luar negeri yang menguasai harta secara tidak langsung dianggap sebagai penghasilan perseroan (pemilik harta) dan dikenakan pajak secara final.

Selain itu, perlu diatur ketentuan nilai pengalihan yang komprehensif untuk memitigasi perbedaan nilai jual dan nilai pasar atas saham tersebut, sehingga tidak terdapat sengketa sebagaimana yang selama ini terjadi dalam praktik pengaplikasian KMK 434.

Di tengah memanasnya kondisi ekonomi dan geopolitik global, saatnya Indonesia mengatur offshore indirect transfer of asset secara komprehensif sehingga hak pemajakan Indonesia dapat diamankan.

Apalagi, dengan maraknya aksi korporasi saat ini, adanya aturan domestik akan meningkatkan penerimaan pajak dan meminimalisir sengketa di lapangan. Lebih dari itu, penulis percaya pengaturan ini dapat meningkatkan sovereignity Indonesia sebagai negara sumber terbentuknya penerimaan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.