Gilang Kusumabangsa,
PRESIDEN dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, menggulirkan wacana penambahan jumlah kementerian/lembaga. Salah satu kementerian/lembaga baru yang dinilai relevan untuk menjawab tantangan pembangunan adalah Badan Penerimaan Negara (BPN).
Ide tersebut sebenarnya telah beberapa kali dikaji pemerintah, bahkan satu pasal tentang pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan (BPP) sudah pernah dimunculkan dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Namun, rencana itu gagal dieksekusi, baik pada era SBY maupun Jokowi.
Dalam program Asta Cita Prabowo-Gibran, pembentukan BPN kembali diinisiasi guna meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 23%. Harapannya, ada ruang fiskal yang memadai bagi pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Namun demikian, momentum pembentukan BPN harus melalui rancang ulang yang substantial dan holistik. Objektifnya bukan sekadar pemisahan fungsi penerimaan negara dari Kementerian Keuangan atau hanya sebatas posisi strukturalnya.
DIREKTORAT Jenderal Pajak (DJP) adalah unit eselon satu di bawah Kementerian Keuangan yang mengampu tugas terkait dengan administrasi perpajakan di Indonesia. DJP dipimpin oleh direktur jenderal. Kewenangan DJP sebagai otoritas diatur dalam UU KUP.
Kewenangan tersebut mulai dari menjalankan pemeriksaan untuk penetapan pajak, melakukan penagihan atas utang pajak, memutus sengketa keberatan pajak, hingga melakukan penyidikan pidana perpajakan.
Struktur organisasi DJP terdiri atas 1 kantor pusat dengan 14 unit direktorat serta 4 jabatan tenaga pengkaji. Selain itu, terdapat unit vertikal berupa 34 kantor wilayah, 4 kantor pelayanan pajak (KPP) wajib pajak besar; 9 KPP khusus; 38 KPP madya; 301 KPP pratama; 204 kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan (KP2KP); serta 3 unit pelaksana teknis (UPT).
Berdasarkan pada Laporan Tahunan DJP, ada 44.787 sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki otoritas dengan 6.255 di antaranya adalah pemeriksa pajak. Dari sisi anggaran, DJP dibekali pagu senilai Rp6,33 triliun atau 0,35% dari total penerimaan pajak pada 2024 senilai Rp1.818,20 triliun.
Pada tahun 2024, DJP memutakhirkan infrastruktur teknologi melalui pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (coretax administration system) dengan anggaran Rp1,39 triliun. Pembangunan sistem informasi berbasis commercial off the shelf (COTS) disertai dengan penguatan database. Harapannya, sistem menjadi mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti.
Dengan segala sumber daya yang dimiliki DJP dalam menjalankan kewenangannya, Indonesia masih belum mampu mencapai tax ratio sebagaimana rekomendasi World Bank, yaitu 15%, dalam 1 dekade terakhir. Pada tahun 2023, tax ratio turun menjadi 10,21% walaupun penerimaan pajak masih tumbuh sebesar 8,9%.
DALAM beberapa dekade terakhir, banyak negara telah melakukan transformasi fiskal yang progresif guna melaksanakan salah satu tugas negara paling fundamental, yakni mengumpulkan penerimaan pajak (Jenkins, 1994; Taliercio, 2000).
Transformasi tersebut dimulai di negara berkembang, seperti Bolivia dan Ghana, pada akhir 1980-an. Kini, transformasi telah menjadi tren global karena diadopsi 28 negara, termasuk Australia, Malaysia, dan Singapura.
Pola di masing-masing negara relatif sama, yaitu memisahkan otoritas pajak (terkadang termasuk pula kepabeanan dan cukai) dari Kementerian Keuangan serta mendirikan Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA).
Banyak literatur yang menyajikan bukti keberhasilan adopsi SARA di berbagai negara. Kristiaji dan Poesoro (2013) menemukan negara yang mengadopsi SARA memiliki potensi peningkatan tax ratio 3%-5% dan penurunan suap (tax bribe) 8,4%.
Temuan World Bank (2004) menunjukkan Superintendencia Nacional de Aduanas y de Administración Tributaria (SUNAT) di Peru berhasil meningkatkan tax ratio dari 8,4% pada 1991 menjadi 12,3% pada 1998.
Servicio Nacional Integrado de Administración Aduanera y Tributaria (SENIAT) di Venezuela berhasil meningkatkan tax ratio dari 5,9% pada 1994 menjadi 8,5% pada 1998. Bahkan, Uganda Revenue Authority (URA) mengalami peningkatan tax ratio yang paling tinggi, yaitu dari 7,0% pada 1991 menjadi 11.9% pada 1999.
World Bank (2004) dan International Monetary Fund (2010) telah merumuskan desain kelembagaan SARA berdasarkan pada literatur akademik dan best practice negara lain. Pertama, landasan hukum. Semua negara pengadopsi SARA menerbitkan peraturan setingkat undang-undang sebagai landasan hukum. Untuk itu, dalam konteks Indonesia, pemerintah perlu melakukan perubahan UU KUP sebagai landasan hukum pendirian Badan Penerimaan Negara.
Kedua, pengaturan SDM. Sebanyak 70% negara yang mengadopsi SARA menggunakan pengaturan SDM yang terpisah dari undang-undang terkait dengan aparatur sipil negara. BPN memerlukan sistem meritokrasi dan kompensasi yang lebih agile untuk mempertahankan serta memberhentikan pegawai (misal, under-perform, tidak disiplin, bahkan melakukan korupsi).
Pegawai yang ada saat ini perlu dites kembali guna membentuk birokrasi yang ramping dan lincah. Untuk pekerjaan administrasi dan pelayanan dapat menggunakan outsourcing dari pihak ketiga. Sebagai contoh, SUNAT berhasil mengefisiensikan pegawai menjadi sisa dua per tiga dari jumlah awal dan menaikkan remunerasi sebesar 20 kali lipat.
Hal serupa juga dilakukan Kenya Revenue Authority (KRA) dengan total pengurangan mencapai 415 pegawai karena kinerja dan disiplin yang buruk. Contoh lain, SENIAT berhasil mengefisiensikan menjadi 74,5% dari total pegawai. Selain itu, SENIAT juga merekrut hampir 500 profesional dari firma akuntansi dan hukum bergengsi untuk meningkatkan kualitas manajerial.
Ketiga, sumber pembiayaan. Sebanyak 60% negara yang mengadopsi SARA menggunakan skema persentase tertentu dari penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan. Persentase tersebut bermacam-macam, tetapi World Bank memberikan benchmark sebesar 2% sebagai collection of cost. Pembiayaan tersebut langsung disimpan pada rekening BPN sehingga dapat dihubungkan dengan bonus dan insentif kinerja atas pencapaian target penerimaan pajak.
Sebagai contoh, SUNAT dan KRA memberikan insentif persentase tertentu atas selisih lebih capaian penerimaan pajak terhadap target penerimaan pajak. Contoh lain, South African Revenue Service (SARS) memberikan premi tambahan sebesar 30% bagi pegawainya yang memiliki keterampilan tertentu.
Keempat, tata Kelola BPN. Model board of directors yang banyak digunakan pada SARA di Afrika dan Asia dapat diadopsi. Board of directors tersebut ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Seperti di KRA dan URA, pada board of directors terdapat ex officio sebagai perwakilan pemerintah yang berasal dari Kementerian Keuangan. Selain itu, board of directors juga perlu diisi oleh perwakilan publik, baik itu dari asosiasi profesional perpajakan, akademisi, maupun sektor bisnis tertentu. Hal ini guna menyeimbangkan perspektif dalam pengambilan keputusan strategis.
Walaupun bukan panasea, pendirian BPN merupakan upaya konkret Prabowo-Gibran untuk memenuhi janji politiknya. Dengan komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan legislatif, BPN dapat menjadi katalis guna mewujudkan visi ‘Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045’.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.