LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Pilpres 2019, Siapa yang Lebih Bijak Soal Pajak?

Redaksi DDTCNews
Minggu, 13 Januari 2019 | 17.28 WIB
ddtc-loaderPilpres 2019, Siapa yang Lebih Bijak Soal Pajak?
Yohana Fransiska Indriana Vita Sari
S1 Ilmu Hubungan Internasional

MEMASUKI tahun politik, Indonesia kembali dihadapkan pada dua kubu besar, Jokowi dan Prabowo. Menimbang betapa krusialnya posisi pajak dalam keuangan Indonesia untuk lima tahun ke depan, tentunya perlu menyuguhkan analisis perbandingan pendekatan pajak yang ditawarkan masing-masing calon pemimpin. Bagaimanapun, pajak memainkan peran penting bagi perekonomian suatu negara. Tidak hanya membantu menopang pertumbuhan infrastruktur ataupun pelayanan administrasi, pajak juga berperan dalam mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat.

Berbicara tentang Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, peran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terhadap penerimaan negara secara keseluruhan kian mengecil. Menilik data historis, porsi PNBP pada 2014 tercatat sebanyak 26%, yang kemudian anjlok di tahun berikutnya menjadi hanya 17%. Sementara, di 2017, rasio PNBP terhadap penerimaan negara kembali turun menjadi 14%. Melihat hal ini, tentu pajak menjadi ranah krusial dalam memenuhi anggaran belanja negara.

Jokowi: Keeping All Things on Track

Tidak banyak perubahan yang dicanangkan kubu Joko Widodo. Kubu Jokowi berfokus pada keberlanjutan reformasi perpajakan, yang memang telah dilakukan pada lima tahun terakhir. Selain itu, Jokowi juga berfokus pada insentif pajak bagi usaha miko, kecil, dan menengah (UMKM) demi meningkatkan daya saing nasional. Jokowi—dalam masa kampanye ini—terlihat seperti menjual popularitas atas ‘keberhasilannya’ dalam konteks infrastruktur dan mengaplikasikannya ke dalam komposisi rancangan program kepemimpinannya.

Ada beberapa hal yang memang patut diapresiasi mengenai kinerja Jokowi dalam konteks perpajakan selama ini. Dalam konteks reformasi pajak, program amnesti pajak pada 2016-2017 dianggap berhasil menjadi jalan keluar dari beban target pajak yang tinggi. Upaya penguatan reformasi kepabeanan dan cukai agar institusi terkait lebih berintegritas dan kompeten juga patut diapresiasi.

Program insentif pajak bagi UMKM sendiri dapat terlihat dari adanya penurunan Pajak Penghasilan (PPh) final —dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar dalam setahun—dari 1% menjadi 0,5%.Tarif ini diharapkan oleh Jokowi dapat mendorong masyarakat untuk terjun ke dunia usaha.

Meskipun demikian, beberapa kritik tetap mengalir ke dalam kubu Jokowi yang menilai langkah-langkah reformasi pajak selama ini belum membuahkan hasil. Contohnya saja, revisi paket Undang-Undang (UU) terkait perpajakan, otonomi Ditjen Pajak, perbaikan teknologi, sampai optimalisasi penerimaan pajak yang keseluruhannya masih tertunda. Selain itu, masih terdapat anggapan bahwa kebijakan pajak era Jokowi masih cukup memberatkan sehingga membatasi usaha masyarakat untuk menjadi kompetitif.

Prabowo: Cracking the Comfort Zone Means to Gamble

Berbeda dengan kubu Jokowi, Prabowo cukup membawa perspektif berbeda dalam mengolah pajak. Prabowo cukup membawa pendekatan yang cukup frontal (dapat dikatakan cukup nekat) dengan mengurangi porsi pajak secara kuantitatif. Hal ini dapat terlihat dari beberapa tawaran kebijakan, di antaranya menyakut kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan penurunan tarif PPh pasal 21 orang pribadi, serta penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.

Andre Rosiade, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga mengatakan bahwa startegi tersebut terinspirasi dari kebijakan ekonomi Rusia yang diturunkan dari 80% menjadi 13% (flat tax) yang justru menghasilkan kenaikan pendapatan pajak di Rusia sebesar 28%. Strategi ini kemudian diharapkan oleh kubu Prabowo dapat membentuk masyarakat yang lebih patuh membayar pajak.

Ini seperti halnya mengambil risiko judi, apakah akan untung atau rugi besar. Ketika pemerintah memberikan keringanan pajak bagi masyarakat, penerimaan negara akan berkurang. Jangan sampai, ketika anggaran negara berjalan, pemerintah akhirnya perlu menambal dengan tambahan utang.

Terkait PTKP, kubu Prabowo akan menaikkan batasnya hingga dua kali nominal upah minimum pekerja di wilayah DKI Jakarta, atau di kisaran Rp7 juta—Rp8 juta. Ini merupakan angka yang tidak main-main, mengingat secara logika, jumlah pembayar pajak akan semakin berkurang.

Dalam konteks PPh, saat ini tarif PPh badan di Indonesia mencapai 25%. Angka ini memang sering dikeluhkan oleh pengusaha dan termasuk angka yang tinggi dibandingkan dengan negara lain. Prabowo berencana untuk membawa tarif PPh minimal setara dengan Singapura sekitar 17%. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa PPh merupakan sektor pajak terbesar Indonesia. Selain itu, kritik juga muncul ke dalam kubu Prabowo yang terlalu mudah ‘menyamakan’ Indonesia dengan negara lainnya (dalam konteks ini adalah Singapura).

Selanjutnya, mengenai PBB, ini tentu menjadi angin segar bagi berbagai kelompok masyarakat karena meringankan kebutuhan papan masyarakat. Pertanyaannya, apakah program ini realistis? PBB telah menjadi pendapatan bagi pemerintah daerah. Penghapusan PBB tentu akan berisiko mengurangi pendapatan daerah. Jika hal ini terjadi, pemerintah pusat perlu untuk memberikan alternatif penerimaan lain.

Siapa yang Lebih Bijak?

Terlihat bahwa kedua kubu memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengolah ranah pajak. Kubu Jokowi fokus terhadap struktur dan reformasi sistem. Sementara, kubu Prabowo fokus terhadap diversifikasi inisiatif dan program yang ‘merakyat’. Tentunya, dalam mempertimbangkan dua pendekatan tersebut, perlu untuk melihat bagaimana kondisi Indonesia kini dan kemungkinan apa yang terjadi pada lima tahun ke depan. Ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan.

Pertama, Indonesia kini sedang berada dalam masa krusial bonus demografi. Artinya, dalam beberapa tahun ke depan, perekonomian Indonesia akan bergerak pesat sejalan dengan banyaknya usia produktif. Hal ini tentunya perlu dilihat sebagai salah satu cara untuk memompa perekonomian Indonesia. Cara itu bisa dilakukan dengan metode pajak yang telah ada atau metode pajak yang lebih longgar.

Jika menggunakan metode yang sudah ada, pemerintah berarti memanfaatkan usia produktif yang banyak untuk mendapatkan pendapatan negara yang lebih banyak. Jika metode baru, pemerintah memanfaatkan keuntungan ekonomi karena kondisi yang lebih kompetitif. Kedua hal ini dapat dijalankan. Namun, pemerintah tetap harus melihat dalam lingkup yang lebih luas mengenai skenario yang lebih mungkin dijalankan secara cepat dan tepat.

Kedua, dalam konteks Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), ada arena gambling lain, yakni mampu tidaknya Indonesia menguasai pasar. Tentu saja, perekonomian Indonesia harus menjadi kuat untuk menghadapi tantangan MEA. Dalam konteks ini, dapat dikatakan kubu Jokowi lebih siap menghadapi MEA karena fokus reformasi sistem dan insentif UMKM dapat memperkuat perekonomian untuk menghadapi pasar yang lebih bebas.

Jika kubu Prabowo tetap ingin menjalankan programnya, butuh perbaikan struktur PTKP. Perbaikan itu misalnya lebih spesifik dan terdiversifikasi berdasarkan beberapa aspek seperti difabel, gender, dan sebagainya. Selain itu, butuh perbaikan struktur tarif PPh, terutama pada lapisan golongan tarif pajak yang lebih luas.

Pada akhirnya, skema perpajakan perlu disesuaikan dengan keadaan suatu negara. Indonesia yang memang sedang giatnya membangun kekuatan ekonomi perlu untuk melihat dengan cermat mengenai langkah yang paling tepat. Jangan sampai, pemerintah salah langkah mengambil kebijakan pajak yang berisiko melumpuhkan perekonomian.

Meskipun demikian, peran serta seluruh masyarakat Indonesia untuk taat membayar pajak dan menjadi aktor penggerak ekonomi tetap dibutuhkan. Pemerintah tetap harus menjawab pertanyaan utama, sudah siapkah Indonesia untuk sistem perpajakan yang lebih kuat? *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.