SELAMAT datang 2019, selamat datang tahun politik. Tahun ini, pemilihan umum (Pemilu) diselenggarakan. Masyarakat Indonesia menentukan pilihan presiden dan wakil presiden selanjutnya. Masyarakat juga masih menunggu paket kebijakan yang akan ditawarkan oleh masing-masing pasangan calon. Paket kebijakan yang ditawarkan dalam Pemilu di Indonesia mayoritas merupakan kebijakan yang populis, pro rakyat. Kebijakan yang ditawarkan selalu berkaitan dengan kesejahteraan sosial dan kelanggengan hidup masyarakat, seperti turunnya harga bahan pokok, bahan bakar minyak (BBM), dan lain sebagainya. Bagaimana dengan kebijakan pajak?
Hingga saat ini, pajak masih terus menjadi penyokong APBN. Menurut data dari Kementerian Keuangan, kontribusi pajak terhadap penerimaan negara di tahun 2014 mencapai 74,21% dari total penerimaan. Porsi it uterus mengalami peningkatan pada 2015, 2016, dan 2017, masing-masing tercatat sebesar 82,91%, 83,06%, dan 84,98%. Sayangnya, realisasi penerimaan pajak sejauh ini masih terus menyisakan problem shortfall, yakni selisih kurang antara realisasi dan target. Realisasi selalu tidak pernah mencapai target.
Menurut International Monetary Fund (IMF), pada 2011, tax ratio (perbandingan antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto/PDB) Indonesia lebih kecil daripada negara-negara berpendapatan paling rendah yakni sebesar 12,8%, dengan tax ratio dari low-income countries mencapai 13,9%. Tax ratio Indonesia sejak 2014 hingga 2017 mengalami tren penurunan dari 11,36% menjadi 10,82%. Selama satu dekade, tax ratio Indonesia stagnan pada 11%-12% dengan tax effort Indonesia hanya 0,47, yang berarti upaya penerimaan baru setengah dari potensi.
Pada saat yang bersamaan, dunia digital semakin berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. Nilai valuasi unicorn yang begitu besar merupakan potensi bagi Ditjen Pajak (DJP) untuk pengenaan pajak. Namun, hingga saat ini, Indonesia belum memberikan kebijakan perpajakan yang adil terhadap dunia digital. Dalam menangani isu digital, saat ini, DJP hanya bisa fokus pada administrasi. Belum ada regulasi yang signifikan berbeda dikarenakan Undang-Undang (UU) Perpajakan yang membatasi perubahan. Automatic exchange of Information (AEoI) juga mendorong Indonesia untuk memperbaiki sistem database wajib pajak (WP).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah menjalankan reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan di Indonesia telah berjalan sejak 1983 yaitu reformasi atas peralihan sistem dari official assesment menjadi self assesment. Hingga saat ini, reformasi perpajakan masih terus berjalan dan akan berakhir di 2024. Reformasi perpajakan memakan waktu yang tidak singkat, bahkan hingga periode pemerintahan selanjutnya. Oleh karena itu, keputusan reformasi perpajakan ini kedepannya bergantung kepada calon presiden dan wakil presiden terpilih. Apakah pasangan pemimpin terpilih hendak meneruskan reformasi perpajakan? Atau reformasi perpajakan hanya menjadi sensasi untuk menarik swing voters?
Bagaimanapun, janji kebijakan pajak, termasuk reformasi perpajakan, merupakan bentuk janji politik yang tidak selamanya mengandung pembenaran. Dari sisi pelaku politik – dalam konteks ini adalah calon presiden dan wakil presiden – juga perlu dipahami bahwa janji politik juga serangkaian kegiatan untuk mengakomodir kepentingan, yaitu voters. Sehingga, janji-janji kebijakan perpajakan, termasuk reformasi perpajakan, bisa jadi hanyalah sebuah sensasi dengan tujuan mengakomodasi voters. Walaupun, terdapat kebaikan moral Hegelian, mereka akan menepati janjinya sebelum ditagih karena adanya rasa tidak enak hati.
Menjalankan reformasi perpajakan bukanlah perkara mudah. Perlu adanya kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak yang berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti akademisi, praktisi, dan legislatif. Jika pasangan presiden dan wakil presiden terpilih kemudian menaruh perhatian terhadap reformasi perpajakan, mereka perlu untuk menentukan jalan yang tepat untuk membawa reformasi perpajakan ini dapat terealisasi. Reformasi perpajakan merupakan esensi yang saat ini dibutuhkan oleh dunia perpajakan Indonesia. Dalam roadmap reformasi perpajakan, terdapat lima pilar reformas perpajakan yang dijadikan fokus yaitu organisasi, sumber daya manusia, peraturan perundangan, kesederahaan proses bisnis, teknologi informasi dan data.
Kebijakan pajak merupakan isu penting bagi negara karena berkaitan dengan penerimaan. Mau tidak mau, presiden dan wakil presiden pada estafet berikutnya harus mencari cara agar dalam lima tahun kedepan penerimaan pajak mencapai target realisasi atau tidak terjadi shortfall. Fasilitas perpajakan yang sudah diberikan tidak dapat menjadi tumpuan satu-satunya bagi negara jika ingin mendapatkan sustainable income. Perlu ada reformasi perpajakan yang dapat menjadi stimulus perpajakan di Indonesia.
Reformasi perpajakan, siapapun presiden dan wakil presiden terpilih, tetap harus dijalankan. Seperti yang dinyatakan oleh Sri Mulyani Indrawati, reformasi perpajakan hadir karena masih ada kebijakan pajak Indonesia yang masih perlu diperluas lebih dari satu strategi. Dengan demikian, reformasi perpajakan bukanlah isu yang menjadi kepentingan presiden dan wakil presiden terpilih semata, melainkan isu yang relevan dengan kondisi saat ini. *