LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK

Ketimpangan dan Reformasi Sistem Perpajakan

Redaksi DDTCNews
Selasa, 16 Januari 2018 | 13.30 WIB
ddtc-loaderKetimpangan dan Reformasi Sistem Perpajakan
M. Rusdil Fikri,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

PAJAK merupakan komponen penting penerimaan negara. Selain itu, pajak merupakan tulang punggung sumber pembiayaan pembangunan. Maka tak heran dari tahun ke tahun pemerintah mematok target tinggi guna menggenjot penerimaan pajak.

Sejalan dengan slogan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, orang bijak taat pajak, agaknya pemerintah harus melakukan usaha ekstra untuk mendorong warga negaranya agar patuh membayar pajak. Pasalnya, realisasi penerimaan pajak beberapa tahun terakhir tergolong memble.

Tercatat di tahun 2014, pemerintah menetapkan target pemerimaan pajak sebesar Rp1. 246 triliun. Namun, realisasi yang dicapai hanya 91% atau sekitar Rp 1.143 triliun. Pun begitu, di tahun 2013, penerimaan pajak hanya sekitar 93% dari target Rp 1.148 triliun.

Tren penerimaan pajak yang tidak bisa memenuhi ekspektasi tersebut disinyalir terkait dengan kondisi perekonomian global yang tengah memasuki 'kondisi baru'. Kegiatan ekspor maupun impor mengalami tekanan yang berakibat pada berkurangnya pungutan kepabeanan.

Selain itu penurunan harga komoditas di pasar dunia memberikan andil yang signifikan pada pundi-pundi kekayaan negara. Minyak Kelapa Sawit (CPO) dan batubara adalah komoditas andalan Indonesia yang mengalami depresi akibat lesunya permintaan.

Indonesia termasuk negara dengan tingkat ketimpangan paling parah di Asia, bahkan jauh lebih parah dibandingkan beberapa negara di Asia Timur. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil dibandingkan beberapa negara di Asia, pertumbuhan tersebut tidak dinikmati oleh semua kelompok masyarakat.

Justru kemajuan ekonomi tersebut memperlebar jarak antara kelompok kaya dan miskin. Sebab ‘kue pembangunan’ dinikmati hanya 20% warga terkaya, sementara 80% populasi atau 205 juta penduduk tertinggal jauh di belakang (Bank Dunia, 2015).

Pembangunan ekonomi Indonesia tampak semakin memperlebar jarak antara kelompok terkaya (top income) dengan kelompok termiskin. Salah satu penyebabnya adalah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang.

Dalam pandangan Marx, mereka yang menguasai kekayaan dapat dengan mudah mereproduksi kekayaan melalui berbagai instrumen, salah satunya adalah pasar finansial (financial market). Dengan menggunakan rumus Money to Money, Marx menunjukkan bahwa kekayaan kaum borjuis dapat dengan mudah ‘berkembang biak’ melalui instrumen surat-surat berharga.

Tahun 2016, Forbes merilis 50 nama orang terkaya di Indonesia. Kekayaan bersih 10 teratas setara dengan 43% pendapatan negara tahun 2017. Formasi 10 orang terkaya tidak pernah mengalami perubahan dalam 5 tahun terakhir atau dengan kata lain hanya ditempati oleh yang sama.

Yang menarik, meskipun pemerintah tidak merilis nama-nama orang kaya yang menjadi peserta tax amnesty, Ditjen Pajak menyebut masih ada beberapa orang terkaya Indonesia belum mengikuti program pengampunan pajak. Indikasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sebagian dari mereka bisa saja masih enggan membenahi urusan perpajakannya.

Selain itu, tingginya tingkat penghindaran pajak, khususnya kelompok terkaya, menyebabkan ketimpangan di Indonesia semakin parah dan membuat kehidupan semakin tidak adil. Pada satu sisi, orang berpendapatan menengah ‘dipaksa’ oleh negara untuk membayar pajak sedangkan orang terkaya justru menghindari pajak.

Mereka yang mengikuti program amnesti pajak belum tentu ke depanya taat dalam membayar pajak. Padahal, pajak selain merupakan sumber pendapatan utama negara (80% pendapatan negara dari pajak), juga menjadi instrumen untuk meredistribusi pendapatan dari kelompok kaya ke golongan masyarakat miskin.

Pemerintah sebenarnya telah memberlakukan tarif progresif untuk pajak pendapatan sejak tahun 2008 melalui penetapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan.

Semakin besar penghasilan kena pajak, maka semakin tinggi pula persentase tarifnya. Penetapan tarif progresif merupakan langkah strategis, bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan negara tapi juga untuk mempersempit ketimpangan pendapatan.

Penelitian Enrico Rubolino dan Daniel Waldenström yang dipublikasi 13 April 2017 menemukan bahwa tarif progresif untuk pajak pendapatan (personal tax income) dapat menurunkan kekayaan yang dinikmati oleh kelompok terkaya dan mendorong kekayaan kelompok terbawah.

Penelitian ini menemukan bahwa penetapan tarif progresif di tiga negara yaitu Australia, New Zealand, dan Norwegia berhasil menurunkan ketimpangan pendapatan. Namun, penetapan tax progressivity di Indonesia tidak diikuti dengan kepatuhan wajib pajak, khususnya kelompok terkaya, sehingga dampaknya terhadap ketimpangan masih belum terlihat.

Selain itu tingginya angka korupsi di Indonesia semakin memperparah redistribusi pendapatan. Salah satu penyebab tingginya tingkat penghindaran pajak adalah lemahnya penegakan hukum perpajakan (law enforcement) di Indonesia.

Peluang untuk menyimpan kekayaan di negara-negara tax haven juga terbuka luas. Kalaupun pemerintah berhasil memungut pajak dari kelompok terkaya, tantangan selanjutnya adalah menurunkan tingkat kebocoran anggaran. Hal ini penting karena korupsi berdampak negatif bagi proses redistrbusi kemakmuran (Philippe Aghion, dkk, 2016) dan dapat menurunkan kepercayaan wajib pajak terhadap pemerintah.

Penyegaran kembali bahwa hakikat pajak adalah gotong royong, dari masyarakat untuk masyarakat, sangatlah penting. Asal tidak dikorupsi atau dicatut, saya yakin masyarakat hanya perlu contoh yang baik untuk membuat mereka sadar secara sukarela membayar pajak, daripada menakut-nakuti mereka dengan konsekuensi sanksi.

Oleh karena itu mereformasi sistem perpajakan dan law enforcement merupakan langkah strategis yang dapat diambil pemerintah jika menganggap ketimpangan pendapatan adalah persoalan serius.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.