MENURUT Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa pajak merupakan sumber pendapatan yang penting bagi suatu negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Melihat betapa pentingnya pajak terhadap negara, maka dalam usaha Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban membayar pajak diperlukan sistem pemungutan pajak yang tepat. Sistem pemungutan pajak ini diperlukan untuk mempermudah proses pemenuhan kewajiban Wajib Pajak agar dapat dilaksanakan dengan baik, benar, dan jelas. Adanya sistem ini juga mengatur supaya segalanya berjalan secara teratur serta terorganisir.
Di Indonesia sendiri, telah terjadi perubahan dalam sistem pemungutan pajak. Perubahan-perubahan ini terjadi supaya dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada pada masyarakat. Pada zaman kolonial Belanda, sistem pemungutan pajak yang diberlakukan di Indonesia adalah sistem official assessment.
Official Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada fiskus atau petugas administrasi pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang Wajib Pajak. Sistem pemungutan yang satu ini terus berlangsung dan berakhir pada saat Indonesia memasuki masa reformasi perpajakan pada tahun 1983.
Sejak tahun 1983 sistem perpajakan di Indonesia beralih dari Official Assessment System ke Self Assessment System dan berlangsung hingga saat ini. Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang dan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang Wajib Pajak itu sendiri. Self Assessment System ini diharapkan mampu memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban mereka kepada negara.
Bukan hanya sekadar membayar atas dasar paksaan dikarenakan pajak beserta segala tata caranya diatur dalam perundang-undangan, namun, self assessment System bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan yang besifat sukarela Wajib Pajak dalam membayar pajak. Mereka diharapkan memiliki kesadaran diri untuk memenuhi kewajiban membayar pajaknya sendiri.
Terlepas dari tujuan self assessment system untuk meningkatkan kesadaran serta kepatuhan Wajib Pajak untuk membayar pajak secara sukarela. Pada akhirnya, tetap saja menimbulkan adanya keterpaksaan secara tidak langsung bagi Wajib Pajak.
Wajib Pajak tidak berpikir mereka memenuhi kewajiban pajaknya secara sukarela, namun, Wajib Pajak menganggap sistem self assessment ini sebagai beban bagi mereka. Hal ini karena Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri.
Wajib Pajak dalam pengerjaannya diharapkan dapat melakukannya dengan baik dan benar. Jangan sampai terjadi kesalahan. Namun, kenyataannya, seringkali terjadi kesalahan-kesalahan mulai dari kesalahan kecil hingga kesalahan besar seperti kasus-kasus penyelewengan yang ada dalam dunia perpajakan. Kesalahan-kesalahan tesebut disebabkan oleh beberapa hal.
Pengetahuan Wajib Pajak
KURANGNYA pengetahuan Wajib Pajak terhadap sistem dan tata cara penghitungan dalam perpajakan tak dapat dipungkiri menjadi salah satu penyebab terjadinya kesalahan dalam dunia perpajakan.
Seperti yang kita ketahui, dalam Self Assessment System Wajib Pajak berkewajiban untuk menghitung, memperhitungkan serta melaporkan besarnya pajak terutang Wajib Pajak. Maka, diperlukan pengetahuan yang cukup bagi Wajib Pajak untuk memahami bagaimana teknis perhitungan yang benar, bagaimana menyusunnya, bagaimana proses pelaporan pajaknya, bagaimana jika terjadi kesalahan dalam pelaporannya, kapan waktu yang tepat untuk melaporkannya, dan lain-lain yang berhubungan dengan proses Self Assessment System itu sendiri.
Walaupun pemerintah sudah mencantumkan segalanya mengenai tata cara perpajakan dalam buku “Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya”, pada kenyataannya tak sedikit Wajib Pajak yang belum memahami dengan benar tentang perpajakan.
Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya Wajib Pajak baik itu orang pribadi maupun badan usaha yang menggunakan jasa konsultan pajak dalam menangani masalah perpajakan mereka. Mereka konon seringkali tak memiliki banyak waktu untuk mengerjakan perhitungan pajak terutang mereka sendiri sehingga memerlukan bantuan dari jasa keuangan ataupun konsultan pajak.
Sosialisasi & Konsultan
DI Indonesia, peraturan perundang-undangan tentang perpajakan telah mengalami beberapa kali pembaharuan antara lain Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 dan diperbaharui kembali dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kurangnya sosialisasi pemerintah kepada Wajib Pajak akan menyebabkan Wajib Pajak mengalami ketertinggalan dalam mendapatkan informasi mengenai perubahan-perubahan tersebut khususnya perubahan dalam teknis perhitungan Self Assessment System.
Hal ini kemudian menjadi alasan mengapa dalam pengerjaannya fiskus seringkali menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Entah itu dalam perhitungan, penyusunan maupun pelaporan dari pajak terutang tersebut.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Wajib Pajak seringkali merasa tidak memiliki banyak waktu untuk mengurus segala permasalahan seputar kewajiban perpajakan mereka. Tidak jarang, banyak Wajib Pajak yang memberikan “beban” tersebut kepada yang lebih ahli atau yang sering dikenal dengan konsultan pajak.
Belum lagi jika Wajib Pajak tersebut tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang perpajakan, maka, Wajib Pajak akan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada konsultan pajak atau orang-orang yang ahli dalam perpajakan untuk mengatur serta menyusun segalanya perihal pajak terutang Wajib Pajak tersebut.
Sementara di masa sekarang ini, sulit ditemukan para ahli di bidang perpajakan yang memiliki integritas atau kejujuran yang tinggi dalam pekerjaan mereka. Tak jarang ditemukan kasus-kasus pencucian uang serta penggelapan pajak yang terjadi di Indonesia. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika para konsultan pajak memiliki integritas yang tinggi dalam pekerjaan mereka serta Wajib Pajak yang turut bersikap jujur dalam pelaporan pajak mereka.
Oleh karena itu, untuk mengatasi segala kekacauan yang ada para Wajib Pajak sebaiknya membekali diri dengan pengetahuan tentang pajak. Wajib Pajak harus menyempatkan diri untuk memahami bagaimana tata cara yang baik dalam sistem perpajakan di Indonesia. Sehingga tidak terjadi kesalahan teknis dalam proses penyusunan laporan pajak terutang mereka.
Hal ini juga berguna apabila Wajib Pajak mengandalkan konsultan pajak untuk menangani masalah pajak mereka. Wajib Pajak dapat mengawasi, mengontrol serta mengamati hasil kerja dari konsultan pajak tersebut untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewangan yang disebabkan oleh ahli-ahli pajak yang kurang berintegritas dengan berbekal pengetahuan yang ada.
Wajib Pajak juga harus meningkatkan kejujuran dengan menghindari “trik” memperkecil besarnya pajak terutang dengan cara yang salah. Selain itu, pemerintah sebaiknya meningkatkan sosialisasi tentang sistem pemungutan pajak yang baik dan benar supaya Wajib Pajak tidak mengalami ketertinggalan dalam mendapatkan informasi mengenai tata cara sistem pemungutan pajak Self Assessment System.
Namun, bukan hanya pemerintah, dalam Self Assessment System ini diharapkan Wajib Pajak sebagai penggerak utamanya, untuk lebih aktif lagi dalam mencari informasi selengkap-lengkapnya mengenai sistem pemungutan pajak dan segala perubahannya. Karena pada dasarnya Self Assessment System ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran serta kepatuhan Wajib Pajak membayar pajak secara sukarela.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.