International Tax Analyst BKF Kemenkeu Melani Dwi Astuti. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu memetakan tantangan yang dialami pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan PPN dari transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
International Tax Analyst BKF Kemenkeu Melani Dwi Astuti mengatakan ada 6Â tantangan yang dihadapi wajib pajak dan otoritas dalam implementasi pemungutan PPN PMSE dalam PMK No.48/2020. Pertama, tantangan terkait data.
"Data PMSE dari luar negeri ini masih terbatas dan tidak semuanya ada di DJP, jadi perlu kerja sama pertukaran data dengan kementerian/lembaga lain," katanya dalam acara FGD Â Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Barat bertajuk Pajak e-Commerce dan Tantangan dalam Era Digital pada Rabu (22/9/2021).
Kedua, tantangan terkait kurangnya dukungan sistem informasi. Menurutnya, administrasi PPN lintas batas perlu sistem informasi yang lebih andal dan terintegrasi. Sistem informasi yang kuat akan memudahkan pelaku usaha dalam melaporkan dan menyetorkan PPN PMSE.Â
Ketiga, tantangan terkait pengkreditan pajak masukan (PM). Sistem administrasi PPN PMSE dibuat secara sederhana untuk memudahkan pelaporan dan penyetoran pajak.
Hal tersebut akan berdampak pada transaksi PMSE luar negeri yang diberikan kepada pelaku usaha domestik. Pengkreditan PM menjadi tantangan karena adanya perbedaan standar pada aturan domestik seperti kewajiban mencantumkan NPWP yang tidak tersedia dalam invoice sederhana yang dikeluarkan PMSE luar negeri. Â
"Jadi ada kemungkinan WP hadapi kesulitan saat mengkreditkan karena adanya perbedaan standar pada aturan domestik," terangnya.
Keempat, tantangan terkait upaya penegakan hukum. Perlu dipahami bahwa pelaku usaha yang memungut dan menyetorkan PPN PMSE bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia.
Kelima, tantangan dalam bidang regulasi. Menurutnya, aturan PPN PMSE akan terus diperbarui mengikuti perkembangan ekonomi digital dan hal tersebut membutuhkan masukan dari berbagai pihak.
Keenam, tantangan terkait kesetaraan dalam berusaha atau level of playing field. Aspek ini memiliki beberapa dimensi seperti antara pelaku usaha PMSE domestik dan luar negeri. Kemudian antara pelaku usaha PMSE dan yang bertransaksi melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram.
"Saat ini yang di luar negeri sudah diwajibkan pungut PPN PMSE, sementara yang dalam negeri belum. Ini akan diatur segera dengan turunan dari PP No.9/2021. Lalu ada isu keadilan antara platform dan medsos menjadi tantangan dalam pemungutan PPN," imbuhnya.
Sementara itu, Head of Public Policy and Government Relations Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Rofi Uddarojat mengatakan bahwa pembahasan pemajakan digital di Indonesia masih terfokus pada pemajakan barang tidak berwujud, pajak transaksi elektronik, dan PPh yang masih menunggu konsensus global.
"Isu perpajakan digital menjadi prioritas idEA, selain izin usaha, jasa governance, illegal complaint,"Â ujar Rofi.
Ada 4 prinsip, sambung Rofi, yang perlu diperhatikan pemerintah dalam pemajakan digital. Pertama, level of playing field antara seluruh pelaku usaha, baik yang online maupun offline.
Kedua, pemberlakuan pemajakan baru secara gradual dan light touch. Artinya pemajakan digital tidak bisa dilakukan secara langsung dan serentak.
Ketiga, pemajakan digital tidak boleh menjadi halangan. Regulasi pemajakan digital harus memberi ruang inklusif bagi pertumbuhan pelaku usaha yang baru, bukan malah menjadi penghalang.
Keempat, pemberlakuan kewajiban perpajakan yang sesuai peran dan model bisnis masing-masing (self-assessment). Hal ini berkaitan dengan penunjukan pihak ketiga dalam skema PMSE untuk memungut dan melaporkan pajak, yang justru membebani PMSE lokal. (sap)