Kurniawan Agung Wicaksono
Selasa, 25 Desember 2018 | 10.00 WIB
‘Keadilan itu Memang Relatif’

Fuad Bawazier.

PASANGAN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi) menjanjikan sejumlah kebijakan pajak saat maju menjadi calon presiden-wakil presiden 2019-2024. Mereka berencana menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Rencana kebijakan ini disebut untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Selain itu, seperti tercantum dalam dokumen visi-misi yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan nomor 02 ini juga berencana menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama untuk meringankan beban hidup masyarakat. Apa yang melatarbelakangi janji tersebut?

Untuk mencari tahu latar belakang janji-janji kebijakan pajak itu, InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) berkesempatan mewawancarai Fuad Bawazier. Mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto ini menjabat sebagai Direktur Konsolidasi Nasional Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Berikut petikan wawancara tersebut.

Apa yang melatarbelakangi janji penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama?

PBB naik terus-menerus. Banyak orang yang punya [rumah], tapi sebetulnya dia enggak punya kemampuan likuiditas untuk membayar pajaknya. Maka dari itu, banyak orang yang lebih memilih menjual rumahnya. Padahal, mereka ini misalnya istri para pejuang. Tentu ini akan di-review lagi. Kemampuan mereka ya harus diperhatikan. Ini untuk mencegah ketergusuran orang-orang dari tempat tinggalnya.

Bukankah ini akan berpengaruh pada pemerintah daerah yang selama ini mengambil penerimaan PBB?

Kan ada dana bagi hasil yang bisa di-review kembali. PBB tambang dan hutan, misalnya, nanti bisa untuk mengompensasi. Ini karena bagi hasil juga bagian dari yang akan dikompensasikan. Intinya kami memerangi program penggusuran rumah-rumah dan tanah-tanah menjadi milik orang-orang kuat.

Bagaimana dengan rencana kenaikan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)?

Kami itu sebenarnya akan meninjau kembali definisi orang miskin. Basic concept [penghasilan] orang miskin kira-kira Rp400.000 per bulan atau kurang dari US$1 per hari harus diganti. Kalau kita pakai ukuran internasional US$2 per hari, angka orang miskin yang tadinya 25 juta bisa langsung naik 3 kali lipat menjadi 76 juta. Dengan kenaikan batasan itu, kemiskinan akan langsung naik. Namun, tantangan kita jadi jelas. Nah, itu berimplikasi pada PTKP.

Di sisi lain, kami ingin meningkatkan hal-hal lain seperti iuran-iuran, seperti kesehatan, hari tua, dan iuran lain yang masih sangat rendah di Indonesia. Hal ini akan mengamankan masa depan mereka, sekaligus menyebabkan tersedianya dana-dana di masyarakat. Di Singapura itu namanya provident fund. Kita itu enggak bisa mendukung masa depan mereka walaupun mereka kerja karena terlalu pelit di iuran. Kami menaikkannya tidak akan drastis, paling sekitar 5%. Itu menjadi sinyal political will. Secara fundamental ada sinyal perubahan kebijakan.

Bagaimana dengan janji penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21? Apakah ini juga akan menyentuh bracket-nya?

Saya kira kami belum berbicara bracket, meskipun itu dapat ditinjau kembali atau tidak. Namun, saya kira di visi-misi, kami tidak bicara menaikkan tax ratio. Ini karena pengusaha ini kalau lagi susah lalu diuber-uber pajaknya pasti menimbulkan dua hal. Pertama, kemampuan finansialnya mungkin terganggu. Kedua, psikologis mereka terganggu. Yang paling tidak disukai kan surat dari [Ditjen] Pajak.

Seperti apa peluang pemenuhan janji penurunan tarif PPh Pasal 21 dan PBB, mengingat ini harus mengubah undang-undang?

Kemungkinan itu tidak berdiri sendiri. Ini berkaitan dengan budget reform, Itu kan penerimaan sehingga kaitannya denganspending, defisit, dan utang. Intinya, kita tentukan objektifnya atau tujuannya dulu. Setelah itu, teknisnya kita sesuaikan, jangan dibalik. Sekarang ini terlalu banyak teknis sehingga tujuan pokoknya tidak tercapai. Ini makin lama makin menyimpang jauh. Ini kayak pemerintah membuat statement penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 17%, tapi enggak ada gerakan apa-apa.

Apakah setuju dengan rencana penurunan tarif PPh Badan?

Saya tidak perlu dan belum tentu menyetujui statement pemerintah karena, terus terang saja, masih bersifat wacana dan belum ada perhitungan resminya. Namun, nanti kami akan membuat kalkulasi sendiri. Umumnya kan pemerintah berharap yang berkesinambungan.

Kita memang perlu satu penataan baru, tapi intinya pengusaha harus diberi ruang napas. Kalau memang harus diturunkan karena pajak itu dianggap sudah tidak kompetitif lagi, bisa. Namun, yang lebih diprioritaskan oleh pengusaha sebetulnya kemudahan dalam berbisnis, termasuk perizinan dan segala macam. Bahasa tegasnya, pungli-pungli itu dihilangin, pajaknya enggak usah diuber-uber, pengusaha sudah senang. Skema PPN [pajak pertambahan nilai] itu juga termasuk dianggap ruwet. Mereka ingin itu disederhanakan.

Bagaimana pandangan Anda terkait kepatuhan wajib pajak yang rendah?

Ya sangat rendah, makanya sistem harus dibenahi. Kalau yang [pajak] final, kepatuhan tinggi, hampir 100% ibaratnya. Ya sudah, ngikutin itu karena kenyataannya begitu. Ya bikin dong sistem yang bikin menyebabkan kepatuhan naik. Pajak di Bursa Efek, misalnya, transaksinya gede, Rp5 triliun—Rp10 triliun tiap hari. Itu kepatuhan 100%. Ya sudah, model-model yang kayak gitu yang dibikin.

Artinya Prabowo-Sandi akan lebih banyak menggunakan sistem pajak final?

Yang bisa difinalkan, difinalkan saja. Pajak final juga terbukti menyelamatkan pas krisis. Saya waktu menerapkan pajak final itu enggak menduga hal itu. Orang enggak banyak mengeluh karena ada kepastian. Memang kulturnya begitu, bagaimana? Sebenarnya memungut pajak barang itu sulit tapi kan kita punya prinsip. Prinsip itu adalah cost of collection-nya murah, yang ‘dicubit’ enggak terlalu teriak, efisien, dan kebocorannya rendah.

Anda lihat saja sekarang anggaran DJP. Jika dibandingkan dengan kenaikan penerimaan perpajakan dari zaman saya dulu dengan zaman sekarang, enggak masuk akal naiknya [anggaran DJP] sampai beberapa kali lipat. Ini berarti kan cost of collection-nya tinggi.

Apakah sistem pajak final bisa menjamin berjalannya fungsi keadilan dan redistribusi?

Keadilan ini memang relatif, tapi lebih tidak adil lagi kalau you yang berdasarkan teori keadilan, enggak bisa terapkan itu. Itu jatuhnya lebih tidak adil dibandingkan keadilan yang tadi. Maksudnya mau progresif? Ya enggak usah. Misalnya bunga deposito, dapat miliaran, dengan persentase pajaknya sama, yang simpanannya besar juga akhirnya secara nilai juga besar. Kalau dibedain tarifnya malah ruwet dan lebih enggak jalan lagi. Yang gede malah lolos, lebih enggak adil lagi. Enggak ada yang sempurna, tapi kita cari best way.

Simak wawancara Direktur Konsolidasi Nasional Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Fuad Bawazier selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi 40. Unduh majalah InsideTax di sini(kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.