INGGRIS

Kantor Pusat Raksasa Teknologi Inggris Pindah ke Singapura, Ada Apa?

Kurniawan Agung Wicaksono | Senin, 28 Januari 2019 | 10:31 WIB
Kantor Pusat Raksasa Teknologi Inggris Pindah ke Singapura, Ada Apa?

Sir James Dyson. (foto: AFP/Getty Images)

JAKARTA, DDTCNews – Raksasa teknologi Inggris, Dyson, akan memindahkan kantor pusat perusahaannya ke Singapura. Langkah ini diklaim tidak ada kaitannya dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (British exit/Brexit) yang saat ini masih dalam proses.

Melansir The Guardian, CEO Dyson Jim Rowan mengatakan perpindahan kantor pusat dari Wiltshire ke Singapura tidak ada hubungannya dengan Brexit, termasuk tarif pajak yang ada di dalamnya. Perpindahan badan hukum dari Inggris ke Singapura akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang.

“Tidak ada hubunganya dengan Brexit, tetapi hanya tentang pembuktian masa depan bisnis,” ujarnya, seperti dikutip pada Senin (28/1/2019).

Baca Juga:
Inggris Lanjutkan Pengenaan Windfall Tax Migas Hingga 2029

Keputusan untuk meninggalkan Inggris dibuat oleh miliader sekaligus pendiri perusahaan Sir James Dyson beserta tim eksekutif. Eksekutif puncak termasuk CEO Jim Rowan dan Direktur Keuangan Jørn Jensen - akan berbasis di Singapura.

Rowan mengatakan keputusan untuk memindahkan kantor pusat ke Singapura merupakan bagian dari ‘evolusi’ perusahaan menuju perusahaan teknologi global. Apalagi, menurutnya, Asia menjadi semakin penting bagi Dyson mengingat ada peningkatan pelanggan.

Perusahaan penyedot debu dan teknologi pengering rambut ini berencana meluncurkan kendaraan listrik. Perpindahan kantor pusat ini diyakini akan semakin mempercepat langkah untuk membawa kendaraan listriknya ke pasar.

Baca Juga:
Anggota Parlemen Ini Usulkan Diskon PPN 5 Persen untuk Perhotelan

Weybourne Group, di mana Sir James memegang kepentingan bisnisnya termasuk Dyson, membayar pajak 185 juta pound sterling pada 2017. Dyson yang telah mencatatan laba tahunan 1,1 miliar pound sterling untuk 2018 juga telah mengalihkan sebagian besar produksinya ke Singapura.

Dyson juga telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik kendaraan listrik baru di Singapura. Pabrik tersebut dijadwalkan selesai pada 2020 dan merupakan bagian dari investasi 2,5 miliar pound sterling dalam teknologi baru.

“Semua IP [Intellectual Property] yang dihasilkan di Inggris akan terdaftar dan dikenakan pajak di Inggris. Kami juga mengembangkan IP di tempat lain,” ujarnya sambil menegaskan perusahaan tetap akan membayar pajak di Inggris.

Baca Juga:
Ada Ketimpangan, Pajak Capital Gains di Negara Ini Perlu Direvisi

Sekadar informasi, tarif pajak perusahaan di Singapura tercatat sebesar 17%, lebih rendah dibandingkan Inggris sebesar 19%. Selain itu, tidak ada capital gain tax dan pajak warisan di Singapura. Di Inggris, pajak warisan sebesar 40% untuk apapun di atas 450.000 pound sterling.

Mengomentari hal ini, Richard Murphy, profesor praktik ekonomi politik internasional University of London mengatakan Dyson memang tidak mungkin banyak mengubah struktur pajak yang ada. Ini karena ada biaya perolehan modal yang besar untuk memindahkan IP yang ada di Inggris. Kotak paten Inggris juga sudah menarik bagi perusahaan.

Namun, sesuai dengan pernyataan langkah perusahaan untuk kepentingan depan, Murphy melihat ada keuntungan yang bisa didapat ketika Dyson menjadi pemimpin pasar dalam mobil listrik. Hal ini pada akhirnya diikuti dengan letak ribuan paten di masa mendatang.

Baca Juga:
Jelang Pemilu, Partai Buruh Janji Tak bakal Otak Atik Tarif PPh Badan

“Singapura tidak memungut penghasilan yang diperoleh dari luar wilayahnya dan cukup santai tentang perusahaan yang menemukan pendapatan dan IP di negara bebas pajak. Jadi, dalam hal pajak, Dyson bisa menang untuk jangka panjang jika mobil listriknya terbukti memiliki teknologi yang unggul,” jelasnya.

Menurutnya, langkah Dyson berisiko menjadi awal eksodus perusahaan lainnya. Inggris, pasca-Brexit, tidak dapat memberikan sanksi kepada siapapun yang pergi karena berisiko menghalangi siapapun yang datang.

“Dalam hal itu ada peningkatan risiko bahwa perusahaan akan pergi ke lokasi yang lebih rendah pajaknya,” imbuh Murphy.

Baca Juga:
Jelang Pemilu, IMF Minta Inggris Tidak Pangkas Pajak

Seperti diketahu, Sir James Dyson merupakan salah satu orang yang menyuarakan Brexit dan mendesak para menteri untuk meninggalkan pembicaraan dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan. Alasanya, perusahaan-perusahaan Eropa pasti tetap ingin menjual barang ke Inggris dari pada kehilangan akses pasar.

Sebelumnya, Sir Jim Ratcliffe, orang terkaya di Inggris, dengan kekayaan 21 miliar pound sterling, juga memutuskan untuk meninggalkan Inggris. Dia berpindah ke Monako yang selama ini masuk dalam negara tax havens. Pendiri perusahaan petrokimia Ineos ini juga sama seperti Dyson yang mengklaim Inggris akan ‘berhasil’ di luar Uni Eropa. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN