LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK

Jurus Memajaki Ekonomi Digital

Redaksi DDTCNews
Selasa, 23 Januari 2018 | 20.25 WIB
ddtc-loaderJurus Memajaki Ekonomi Digital

Anis Anjala Widyanti,

Politeknik Keuangan Negara STAN.

EKONOMI digital dalam bentuk bisnis online atau e-commerce sedang berkembang dengan pesatnya.Pertumbuhan transaksi e-commerce di dunia saat ini tercatat mencapai 20%.

Pengguna Internet di Indonesia yang meningkat dengan sangat cepat merupakan penyumbang terbesar bagi pengguna e-commerce. Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Agusus 2017 pembayaran transaksi online mencapai Rp248,2 triliun.

Bisnis ini memiliki potensi besar namun belum tergarap secara optimal terutama penggalian potensi pajaknya.Asosiasi E-Commerce Indonesia memperkirakan di masa mendatang e-commerce akan menjadi penyumbang pajak terbesar dengan potensi pasar sekitar Rp150 triliun per tahunnya.

Saat ini, otoritas pajak di Indonesia membagi bisnis e-commerce ke dalam empat model transaksi, yaitu Online MarketplaceClassified AdsDaily Deals dan Online Retail.  Model transaksi e-commerce yang berbeda ini memerlukan perlakuan pajak yang berbeda.

Tantangan yang Dihadapi dalam Memajaki Ekonomi Digital

Potensi pajak dari e-commerce sangat besar, namun seringkali luput dari pengenaan pajak.  Menurut Chandra Budi (2017), ada kondisi di mana transaksi e-commerce sulit dikenakan pajaknya.Pertama, transaksi e-commerce mampu menembus batas geografis antarnegara.  Kedua, bentuk barang atau jasa yang diperjualbelikan dapat berformat digital seperti software, musik, e-book atau lainnya.Ketiga, transaksi e-commerce terjadi begitu cepat di seluruh dunia dalam waktu singkat. 

Menurutnya, karena transaksi e-commerce tidak mengenal batas negara, tidak ada bentuk fisik yang dijualbelikan dan tidak ada persyaratan khusus. Oleh karena itu, pengenaan PPh dan PPN dalam transaksi e-commerce harus memperhatikan beberapa hal penting. Pertama adalah bagaimana menentukan keberadaan perusahaan e-commerce tersebut ketika tidak berlokasi di Indonesia.  Karena seringkali perusahaan tersebut secara fisik tidak nyata namun dapat menjalankan aktifitasnya di Indonesia. 

Kedua, negara mana yang berhak memajaki transaksi e-commerce.  Dalam transaksi e-commerce, hak pemajakan dapat saja menggunakan satelit atau server di wilayah yang bukan yurisdiksinya. Pembatasan waktu bagi wajib pajak luar negeri sebanyak 183 hari saat ini menjadi tidak pas apabila ukurannya menggunakan kuantitas akses internet.

Ketiga adalah definisi objek pajaknya.  Seringkali dalam kenyataannya semua transaksi e-commerceterjadi dalam dunia maya dan tidak diketahui secara jelas apa yang menjadi objek pajaknya.  Pengkategorian objek pajak ini sangat tergantung dari keberadaan Bentuk Usaha Tetap perusahaan e-commerce tersebut, apakah menjadi pendapatan BUT atau menjadi pajak pertambahan nilai saja.

Sebenarnya sejak akhir tahun 2013, pemerintah sudah mengeluarkan aturan SE- 62/PJ/2013 tentang penegasan ketentuan perpajakan atas industri e-commerce. Dalam SE ini ditegaskan bahwa transaksi perdagangan barang dan jasa melalui sistem elektronik (e-commerce) sama dengan transaksi perdagangan barang dan jasa lainnya sehingga tidak terdapat perbedaan perlakuan perpajakan.

Selanjutnya, peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah SE-06/PJ/2015 tentang pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan atas transaksi e-commerce memberikan penegasan khusus terkait kewajiban pemotongan dan pemungutan PPh atas transaksi e-commerce. Aturan pengenaan penghasilan transaksi online apakah dikenakan pajak juga sebenarnya sudah diatur pada PP 46/2013. Untuk transaksi usaha mikro, dikenakan pajak sebesar 1% dari omset, dengan omset setahun kurang dari Rp4,8 miliar.

Solusi untuk Memajaki Ekonomi Digital

Untuk memajaki sektor ekonomi digital, ada beberapa hal yang dapat diupayakan. Pertama, ketentuan pajak pada e-commerce. Ditjen Pajak  dapat membuat aturan pajak baru untuk e-commerce dengan mengeluarkannya dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh). Hal ini dilakukan agar saat menyangkut cross border, pemajakan tidak akan terganjal dengan tax treaty seperti halnya kasus pajak Google.

Kedua, pengenaan pajak pada setiap transaksi di sistem payment gateway. Sistem satu kantong milik platform marketplace menyediakan data secara digital dalam satu kantong dan tidak terpisah-pisah di pihak penjual sehingga dengan melewati sistem digital milik platform ini pengenaan pajak dapat lebih mudah dilakukan.

Ketigapemerintah memberikan kesamaan level of playing field antara pelaku e-commerce dengan pelaku usaha konvensional. Saat pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) oleh para pelaku usaha digital di Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA) maupun Kominfo, pemerintah dapat sekaligus menetapkan para pelaku sebagai wajib pajak melalui skema Bentuk Usaha Tetap dan/atau Pengusaha Kena Pajak sesuai kondisinya.

Selain ketiga hal di atas, barang-barang digital juga harus dikenakan pajak seperti halnya barang non digital (barang berwujud). Hal ini dilakukan untuk memberikan rasa keadilan bagi para pelaku usaha konvensional. Semerintah itu, pada saat yang sama pemerintah juga perlu memberikan insentif pada pelaku startup agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Mengenai pengawasan kewajiban perpajakan oleh pelaku transaksi online dan masyarakat umumnya terkendala karena tidak tampaknya barang dan jasa yang ditawarkan secara langsung. Dengan ini akses rekening perbankan menjadi penting. Upaya pelaporan rekening bank, adalah langkah awal pengumpulan data digital ekonomi dan underground economy.

Pemerintah pun telah menetapkan aturan membuka kerahasiaan bank dengan segmentasi batas nominal tertentu. Akun bank yang digunakan untuk menampung hasil penjualan online ini menjadi alat kontrol kewajaran pelaporan pajak atas aktivitas ekonomi online.

Selanjutnya untuk pengawasan masyarakat yang tidak terjangkau inklusi keuangan bank, fiskus bisa menggunakan media sosial untuk mengontrol kewajaran laporan SPT-nya. Hal ini pun berlaku terhadap potensi pajak dari selebgram yang menjadi endorser yang mengiklankan produk.

Selebgram atau para endorser diwajibkan untuk melaporkan penghasilannya ke SPT tahunan karena merupakan tambahan kemampuan ekonomi dan media sosial pun dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengontrolnya.

Dengan menjalankan hal-hal tersebut secara optimal, potensi pajak di era ekonomi digital diharapkan dapat tergali secara optimal.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.