PAJAK menjadi sumber penerimaan terbesar bagi berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Saat ini, 80% dari APBN disumbangkan oleh penerimaan pajak guna membiayai keperluan negara seperti pembangunan infrastruktur, layanan publik, pendidikan, yang bertujuan untuk memakmurkan rakyat.
Besaran kontribusi pajak itu menggambarkan bahwa negara sangat tergantung pada pajak. Hal ini terjadi karena sektor penerimaan lain seperti minyak dan gas menurun sangat drastis akibat anjloknya harga minyak dari tahun ke tahun serta semakin berkurangnya sumber daya alam yang dapat diambil.
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan beberapa tahun silam, di mana negara lebih mengandalkan penerimaan dari sektor migas dibandingkan sektor pajak. Atas situasi ini, maka tidak heran apabila pemerintah saat ini tengah berjuang memaksimalkan penerimaan pajak.
Pemerintah berupaya memaksimalkan pajak dengan berbagai kebijakan, salah satunya pengampunan pajak. Namun, upaya ini hanya sementara dan tidak memberi efek yang dominan untuk meningkatkan penerimaan selama belum ada sistem perpajakan yang rapi dan mudah dipahami wajib pajak.
Risiko terburuknya adalah apabila kian lama tax ratio semakin turun akibat berkurangnya wajib pajak yang taat pajak, sehingga penerimaan dari sektor pajak semakin berkurang tiap tahun ketahun seperti yang terjadi pada sektor penerimaan migas.
Walaupun itu rasanya sulit terjadi karena migas memang tergantung dengan ketersediaan di alam, sedangkan pajak akan terus hadir selama ada transaksi terkait dengan objek pajak yang dilakukan oleh subjek pajak sebagaimana diatur oleh undang-undang.
Oleh karena itu, hal yang lebih mungkin terjadi adalah peningkatan penerimaan pajak dibandingkan penurunan penerimaan pajak. Namun, tetap saja inovasi sangat diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu bagaimana caranya merangkul ratusan juta penduduk Indonesia untuk patuh pajak.
Dengan melihat berbagai dinamika yang terjadi, maka ada beberapa inovasi dalam kebijakan perpajakan yang dapat diterapkan oleh pemerintah guna untuk meningkatkan sistem yang dapat menjawab semua masalah perpajakan di Indonesia.
Pertama, pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan. Wacana ini memang sudah lama diketahui oleh publik, bahkan menjadi program yang akan dijalankan oleh Presiden terpilih dalam Pemilu 2014 namun hingga saat ini belum terealisasi.
Pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan akan menjadi tonggak bagi pemerintah apabila benar-benar ingin memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak, karena sudah sepatutnya Indonesia belajar dari otoritas pajak dari negara-negara maju.
Contohnya Amerika Serikat yang mempunyai lembaga pengumpul pajak semi-independen atau Jepang yang semi-independen. Lembaga pajak tersebut bertugas mengurus perpajakan tanpa di bawah kendali Menteri Keuangan yang difokuskan untuk mengelola belanja, tetapi secara langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Dengan pemisahan itu, otoritas pajak ini nantinya akan dapat menciptakan suatu sistem yang baru tanpa tergantung pada Kementerian Keuangan, termasuk dengan penambahan pegawai sehingga penerimaan pajak akan lebih maksimal karena akan menjangkau lebih banyak wajib pajak.
Kedua, mengkampanyekan pentingnya pajak dari masyarakat bagi pembangunan negeri. Masyarakat Indonesia sebagian besar masih beranggapan bahwa pajak itu adalah sebuah penindasan dan kesewenang-wenangan pemerintah dalam mengambil uang rakyat.
Hal ini terbukti dengan masih rendahnya tax ratio Indonesia. Bayangkan saja pada tahun 2016 dari total 252 juta jiwa penduduk Indonesia,tercatat baru 11% atau 27 juta jiwa yang memiliki NPWP dan dari 27 juta jiwa tersebut hanya 10 juta saja yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Efek sampingnya, pemerintah terlalu fokus menekankan penerimaan dari wajib pajak badan, sehingga menjadi kelemahan tersendiri dalam upaya memaksimalkan penerimaan pajak karena pengusaha merasa terlalu diawasi dan diberatkan oleh beban pajak dengan tarif yang terlampau tinggi.
Pajak Orang Pribadi
SELAIN itu, penerimaan pajak dari Wajib Pajak orang pribadi belum dimaksimalkan dengan baik padahal berdasarkan data BPS pada 2013 saja, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta jiwa itu artinya ada banyak potensi yang bisa digali dari wajib pajak orang pribadi (WPOP).
Namun, sepertinya pemerintah belum menemukan cara untuk merangkul WP OP tersebut. Oleh sebab itu maka diperlukan pendekatan yang tepat serta bukti yang nyata dari hasil pajak yang dibayar, supaya masyarakat tidak menganggap pajak sebagai penindasan.
Ketiga, memasukkan materi pendidikan pajak ke kurikulum pendidikan dasar hingga menengah. Hal ini diperlukan untuk mulai mengajarkan pentingnya pajak kepada masyarakat, sehingga ada kebanggaan bagi masyarakat yang patuh pajak.
Apabila rasa kebanggaan itu telah tumbuh sejak dini maka dapat dipastikan tingkat kesadaran pajak masyarakat Indonesia akan dapat menyamai Negara maju. Ini berarti penerimaan pajak dapat meningkat dan pembangunan infrasruktur dapat diselesaikan dengan baik.
Namun tidak bisa dimungkiri, masyarakat sendiri juga harus sadar akan pentingnya pajak. Membayar pajak adalah kewajiban yang tidak boleh dihindari, karena percuma masyarakat terlalu menuntut pembangunan dari pemerintah tetapi masyarakat itu sendiri tidak ikut bergotong royong.
Memang untuk zaman sekarang gotong-royong sudah terdengar kuno, akan tetapi inilah sistem terbaik yang harus dilakukan semua pihak. Sistem ini terlah teruji karena dengan gotong royong Indonesia bisa merdeka dan harusnya dengan gotong royong pula kemerdekaan ini dapat diisi.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.