ANALISIS TRANSFER PRICING

Haruskah Koreksi Transfer Pricing Menggunakan Median?

Selasa, 17 September 2019 | 14:11 WIB
Haruskah Koreksi Transfer Pricing Menggunakan Median?

Verawaty,
DDTC Consulting

DALAM pemeriksaan transfer pricing, pemeriksa pajak mengacu pada pedoman pemeriksaan yang tertuang dalam peraturan domestik, yaitu PER-22/PJ./2013 dan SE-50/PJ./2013. Salah satu hal yang menjadi perhatian pemeriksa pajak adalah mengumpulkan dan mempelajari data wajib pajak yang memiliki transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Pemeriksa pajak menguji risiko penghindaran pajak dalam transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Titik awal pemeriksaan adalah berdasarkan informasi yang tercantum dalam dokumentasi transfer pricing yang telah dipersiapkan wajib pajak.

Apabila wajib pajak tidak menyediakan dokumentasi transfer pricing, pemeriksa pajak dapat menetapkan analisis berdasarkan informasi yang tersedia. Dengan demikian, pemeriksa pajak memiliki wewenang melakukan penyesuaian transfer pricing secara jabatan (Irawan & Ngantung, 2019).

Apabila wajib pajak telah mempersiapkan dokumentasi transfer pricing dengan hasil analisis yang menunjukkan laba operasional wajib pajak berada dalam rentang kewajaran interkuartil, tidak menutup kemungkinan pemeriksa pajak dapat mempertanyakan pembanding yang dipilih wajib pajak. Kemudian, pemeriksa juga dapat melakukan koreksi dengan menghitung kembali rentang kewajaran interkuartil.

Dalam praktik, hanya terdapat dua jenis rentang kewajaran yang sering digunakan di berbagai negara, salah satunya adalah rentang interkuartil. Rentang interkuartil dapat didefinisikan sebagai suatu rentang yang tersebar sebanyak 50% di tengah-tengah jumlah sampel atau populasi data. Artinya, data tidak menyertakan 25% data terbawah dan 25% data teratas.

Secara statistik, dapat dinyatakan rentang yang digunakan adalah antara kuartil 1 (sebagai batas bawah) dan kuartil 3 (sebagai batas atas). Dengan kata lain, rentang interkuartil dianggap telah memasukkan unsur error atau ketidaksempurnaan dari pembanding yang digunakan (Kristiaji & Kusumawardani, 2013).

Praktik umum yang dilakukan pemeriksa pajak adalah penghitungan koreksi berdasarkan median dari rentang interkuartil pembanding. Sebagai contoh, PT A dan PT B memiliki tingkat laba operasi yang sedikit berbeda.

Namun, tidak menutup kemungkinan PT B dapat dikoreksi dengan nilai yang cukup besar. Pada gambar di bawah, dapat dilihat bahwa margin laba PT A sebesar 1% berada dalam rentang interkuartil sedangkan margin laba PT B sebesar 0,9% berada di luar rentang kewajaran karena di luar Q1.


Terlihat perbedaan margin laba PT A dengan PT B sebelum PT B dikoreksi hanya 0,1%. Namun, pemeriksa pajak melakukan koreksi pada PT B menggunakan median 2% sehingga selisih margin antara PT A dengan PT B setelah PT B dikoreksi menjadi 2,1%. Pada akhirnya, PT B menanggung beban pajak yang lebih besar daripada PT A atas deviasi margin yang tipis tersebut.

Pemeriksaan dengan Median
SEBAGAI ilustrasi, IKEA, perusahaan Spanyol di bidang distribusi grosir (wholesale distribution), memiliki margin 0,42% pada 2017. Adapun rentang interkuartil dari pembanding adalah 2,1% (Q1) sampai 7,6% (Q3) dengan median 4,1% sehingga margin IKEA pada 2017 berada di luar rentang interkuartil.

Rata-rata margin IKEA selama periode 3 tahun (2006-2008) adalah 2,22% sehingga rata-rata margin IKEA berada dalam rentang interkuartil dan tidak diperlukan penyesuaian. Namun, otoritas pajak melakukan koreksi ke median atas margin IKEA berdasarkan hasil analisis benchmarking. Alasannya, terdapat cacat kesebandingan (comparability defect), yaitu adanya perbedaan volume penjualan antara IKEA dengan perusahaan pembanding.

Pada akhirnya, pengadilan pajak memutuskan tidak terdapat cacat kesebandingan dan tidak diperlukan penyesuaian atas perbedaan volume penjualan antara IKEA dengan perusahaan pembanding. Atas dasar tersebut, pengadilan pajak menganggap bahwa koreksi pada 2007 harus dilakukan hanya sampai Q1 dan tidak dapat dikoreksi ke median.

Kasus serupa terjadi juga di Malaysia. Dalam hal ini, wajib pajak adalah perusahaan limited risk distributor yang melakukan pembelian dari pihak afiliasi di luar negeri. Atas kasus tersebut, otoritas pajak Malaysia menolak analisis fungsional, melakukan penghitungan kembali, dan mengambil simpulan perusahaan tersebut melakukan fungsi yang kompleks dan menanggung risiko yang tinggi.

Lebih lanjut, otoritas pajak Malaysia melakukan pencarian pembanding sendiri yang menghasilkan rentang interkuartil lebih tinggi sehingga koreksi transfer pricing perlu dilakukan dengan cara mengurangi margin laba wajib pajak ke median. Namun, putusan banding menolak perlakuan otoritas pajak Malaysia dan koreksi dibatasi hanya sampai Q1.

Putusan pengadilan yang sama terjadi pada TCL Belgia yang mengatakan otoritas pajak salah dalam melakukan koreksi transfer pricing dengan membandingkan margin wajib pajak dengan margin median karena titik mana pun dalam rentang interkuartil seharusnya telah memenuhi prinsip kewajaran (Apte, 2019).

Paragraf 3.62 Organisation for Economic Co-operation (OECD) Transfer Pricing Guidelines 2017 menyatakan setiap titik dalam rentang telah memenuhi prinsip kewajaran apabila rentang tersebut telah memiliki tingkat keandalan yang tinggi dan relatif sama.

Dalam kasus terdapat cacat kesebandingan sebagaimana dinyatakan dalam Paragraf 3.57, mungkin akan tepat apabila digunakan kecenderungan median untuk meminimalisasi risiko kesalahan karena ketidaktahuan atau terdapat cacat kesebandingan yang tidak dapat diverifikasi.

Dalam upaya menghindari koreksi dari pemeriksa pajak, wajib pajak perlu melakukan analisis yang komprehensif, identifikasi derajat kesebandingan yang tepat dan andal, serta menentukan rentang kewajaran interkuartil yang dapat membenarkan prinsip kewajaran dari transaksi afiliasi wajib pajak.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

18 September 2019 | 10:07 WIB

Selain paragraf 3.62 OECD TP Guideline, landasan hukum atau teori apa yang dapat kita gunakan untuk membantah metode penggunaan median secara sepihak oleh fiskus? Bahkan saya pribadi mengalami ada beberapa putusan pengadilan pajak dimana Hakim memutuskan untuk menentukan ulang menggunakan median atas sengketa dimana Wajib Pajak sudah menggunakan Q1 (misalkan) namun Fiskus dalam mengkoreksi menjadi Q3. Dan Hakim memutuskan untuk menghitung ulang dengan titik Median. Padahal tidak ada sengketa atas eksistensi dan benefit. Menghadapi hal ini bagaimana solusinya? Dan seperti apa yang dapat dilakukan untuk "wajib pajak perlu melakukan analisis yang komprehensif, identifikasi derajat kesebandingan yang tepat dan andal, serta menentukan rentang kewajaran interkuartil yang dapat membenarkan prinsip kewajaran dari transaksi afiliasi wajib pajak" Terima kasih untuk jawabannya. #MariBicara

17 September 2019 | 15:07 WIB

artikel yg luar biasa dan membuka wawasan. semoga semakin banyak artikel seperti ini.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN