PAJAK merupakan mata air utama dana untuk pembangunan karena mayoritas sumber penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. Oleh karenanya, pajak telah menjadi tulang punggung penggerak roda pembangunan yang sangat dominan.
Tak dapat disangkal lagi, bahwa pembayar pajak telah menjadi pahlawan pembangunan yang rela dihisap darahnya demi eksistensi negeri tercinta ini.
Sementara itu, di sisi lain, fiskus, sebagai pihak yang bertugas untuk memungut pajak telah memberi andil yang tidak sedikit dalam proses pengumpulan dana pembangunan ini. Karena itu, hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat harus seimbang dan adil.
Wajib pajak sebagai pihak yang memiliki darah, janganlah dihisap habis-habisan, sehingga tidak sempat lagi untuk berkembang biak, karena lesu darah.
Fiskus sebagai pihak yang membutuhkan darah, jangan pula haus darah. Dengan kata lain, pemungutan pajak harus tetap memperhatikan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Hal ini dapat diibaratkan dengan falsafah ayam. Seumpama ayam, wajib pajak harus diberi kesempatan untuk bertelur sebanyak-banyaknya dan dari telur yang dihasilkan, dapat diambil beberapa butir.
Jangan sampai ayam yang mau bertelur selalu diganggu dengan usikan, sehingga ia enggan, bahkan tidak mampu untuk bertelur lagi. Bahkan, jika ayam tersebut sampai dipotong, sehingga habislah darahnya.
Negara mungkin memang dapat langsung menikmati ayam yang sudah dipotong tersebut. Tetapi, begitu ayam tersebut dipotong sekaligus, habislah kesempatan untuk mendapatkan telur yang dapat dikonsumsi langsung atau ditetaskan menjadi anak ayam lagi.
Selain itu, untuk dapat bertelur, tentu harus ada iklim yang kondusif. Pemerintah harus memberkan suasana yang dapat mendorong wajib pajak tenang dalam berusaha.
Sesuai dengan prinsip self assessment, pemerintah harus memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Sekecil apapun gangguan yang terjadi, dapat mengganggu rasa ketenangan yang berdampak kontraproduktif terhadap wajib pajak.
Setiap bentuk ketidakadilan dan ketidakpastian dalam pelaksanaan perpajakan akan membuat wajib pajak merasa hanya dimanfaatkan dan tidak timbul rasa kesadaran untuk membayar pajak.
Yang ada hanya keterpaksaan. Karena itu, pemerintah harus terus berupaya meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Peningkatan kesadaran dan kepatuhan juga harus dibebankan kepada fiskus, selaku pihak yang bertugas memungut pajak. Bahkan pihak inilah yang semestinya menjadi contoh bagi para wajib pajak.
Dengan begitu, para wajib pajak tidak merasa dimanfaatkan. Jika kesadaran dan kepatuhan membayar pajak ini terealisasi baik di pihak fiskus maupun pihak wajib pajak-akan nyatalah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri.