JAKARTA, DDTCNews—Kendati banyak dikritik akibat bertambahnya utang pemerintah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan meraih penghargaan sebagai pengelola utang terbaik tahun 2019 se Asia Pasific dari GlobalMarket.
Penghargaan tersebut diberikan karena DJPPR dinilai berhasil menurunkan biaya utang pemerintah serta menjaga risiko pada tingkat yang aman. GlobalMarket menganggap tepat kebijakan dan strategi DJPPR dalam mengelola utang pemerintah. Penghargaan itu diberikan di Washington DC, AS.
“DJPPR memiliki 2 sasaran utama yaitu menurunkan biaya utang dan menjaga risiko di tingkat aman. Selama 2018-2019 DJPPR dinilai mampu mengelola kedua sasaran itu dan meningkatkan pengelolaan utangnya,” Dirjen DJPPR Luky Alfirman seperti dilansir dari laporan APBN Kita, Senin (25/11/2019)
Bahkan, menurut GlobalMarket, DJPPR tidak hanya mampu memenuhi 2 sasaran utama itu tetapi telah melampauinya. Selain itu, strategi pengelolaan utang DJPPR dinilai telah jelas, salah satunya melakukan strategi frontloading untuk penjualan obligasi nonrupiah pada semester pertama 2019
Adapun frontloading adalah strategi penerbitan surat berharga negara (SBN) pada awal tahun dengan jumlah yang cukup banyak. Dengan demikian, diharapkan penerbitan utang sampai dengan akhir tahun dapat ditekan.
Selanjutmya, upaya DJPPR menyelenggarakan lelang pada pasar domestik secara reguler untuk utang bermata uang rupiah, bergantian dengan sukuk dan surat utang negara (SUN) setiap pekannya juga dinilai tepat.
Padahal, 2018 merupakan tahun yang berat bagi pengelolaan utang Indonesia. Pasalnya, tahun itu bank sentral AS (Federal Reserve) menaikkan suku bunganya hingga 4 kali. Di sisi lain, Bank Indonesia juga menaikkan tingkat suku bunganya sebesar 175 basis poin.
Kenaikan tersebut membuat tingkat suku bunga pada 2018 cukup tinggi. Terlebih kenaikan suku bunga itu juga berpengaruh terhadap besaran yield SBN. Meski demikian, lembaga rating asal AS Standard and Poor’s (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia karena dianggap cukup kuat.
Meski mendapat penilaian positif, pemerintah tetap waspada terhadap ketidakstabilan yang terjadi di pasar global. Oleh karena itu, pemerintah sangat berhati-hati dalam menerbitkan surat utang dengan menggunakan strategi oportunistik sejak 2019.
Strategi oportunistik adalah strategi meningkatkan penerbitan surat utang jika kondisi pasar kondisif. Sementara itu, jika kondisi pasar tidak kondusif pemerintah akan menguranginya. “Tahun 2018 adalah tahun dengan suku bunga tinggi, tetapi tahun 2019 akan menjadi lebih baik,” ujar Luky.
Sampai akhir Oktober 2019, jumlah utang pemerintah tercatat Rp4.756,13 triliun, dengan rasio terhadap PDB mencapai 29,87%. Jumlah utang ini naik Rp55,85 triliun dari posisi akhir September 2019 yang tercatat Rp4.700,28 triliun dengan rasio utang terhadap PDB 29,72%.
Rasio utang sebesar 29% terhadap PDB tahun ini diperkirakan masih sama dengan rasio utang tahun lalu dan tahun sebelumnya. Pada 2016, rasio utang terhadap PDB masih mencapai 28% sedangkan pada tahun sebelumnya lagi 27% dan 24%. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.