Ilustrasi. Gedung Ditjen Pajak.Â
JAKARTA, DDTCNews - Konsensus atas proposal Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) dinilai akan memberikan dampak terhadap kinerja penerimaan pajak di tiap negara atau yurisdiksi, tak terkecuali Indonesia.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan otoritas pajak saat ini masih menghitung tambahan atau pengurangan pajak yang bakal timbul akibat dua proposal dari OECD tersebut.
"Dampak konsensus pada di OECD terhadap Indonesia untuk saat ini masih dalam perhitungan dan analisis internal pemerintah," katanya, Rabu (13/10/2021).
Melalui Pilar 1, Indonesia selaku yurisdiksi pasar bakal memiliki hak untuk memajaki penghasilan korporasi multinasional yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia meski tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia.
Merujuk pada dokumen Statement on the Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy, negara-negara anggota Inclusive Framework sepakat untuk merealokasikan 25% residual profit korporasi multinasional untuk dipajaki oleh yurisdiksi pasar.
OECD memperkirakan total laba yang akan direalokasikan kepada yurisdiksi pasar dan bisa dipajaki oleh yurisdiksi tersebut mencapai sekitar US$125 miliar.
Namun, IMF pada laporan yang berjudul Digitalization and Taxation in Asia mencatat negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Malaysia justru berpotensi kehilangan penerimaan pajak sebesar -0,01% dari PDB akibat Pilar 1. Kalaupun ada tambahan penerimaan, tambahan yang didapatkan Indonesia cenderung minim.
Selanjutnya, Indonesia juga berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan dari ketentuan pajak minimum global sebesar 15% dari proposal Pilar 2. Dengan Pilar 2, tarif minimum sebesar 15% akan berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan di atas €750 juta. Skema ini diperkirakan menghasilkan sekitar US$150 miliar tambahan pendapatan pajak global per tahun. (rig)