JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Selasa (3/10) berita datang dari negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia yang masih alot. Selain menolak skema divestasi saham 51% yang ditawarkan pemerintah, Freeport menuntut perjanjian stabilitas investasi untuk keberlangsungan tambangnya.
Demi mengakomodasi keinginan Freeport, pemerintah menyiapkan payung hukum berupa rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait stabilitas investasi. Calon beleid ini sudah masuk dalam sekretariat negara.
Dalam bab VII Pasal 14 disebutkan bahwa tarif pajak penghasilan badan PT Freeport hanya 25%. Angka tersebut turun dibandingkan yang diatur sebelumnya dalam rezim Kontrak Karya (KK) yakni 35%. Namun, Freeport menanggung bagian pemerintah pusat sebesar 4% dari keuntungan bersih pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan bagian pemerinta daerah 6%.
Berita lainnya mengenai kalangan perusahaan migas yang merasa khawatir dengan adanya peraturan pajak akan memberatkan pelaku usaha hulu migas. Berikut ulasan ringkas beritanya:
Pembahasan aturan Pajak untuk Kontrak Bagi Hasil Gross Split terus bergulir. Namun, ada kekhawatiran dari kalangan perusahaan migas, adanya peraturan pajak akan memberatkan pelaku usaha hulu migas. Indonesia Petroleum Association (IPA) menyampaikan kekhawatiran pada Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, SKK Migas, hingga Ditjen Migas, mengenai rencana penerapan pajak dengan norma penghitungan khusus atau Deemed Profit.
Pasalnya, dengan diterapkan metode deemed profit, akan berpotensi meningkatkan beban ekonomi kontraktor, karena prosentasenya tidak dapat menggambarkan seluruh karakteristik unit Wilayah Kerja (WK) migas. Selain itu, metode ini juga bisa berdampak pada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang harus membayar pajak meski masih pada posisi merugi.
Kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) jelang akhir tahun ini kurang menggembirakan. Dengan pertumbuhan penerimaan yang minim, maka potensi tidak tercapainya target semakin besar. DJBCmembukukan penerimaan dari bea dan cukai sebesar Rp104,24 triliun hingga 29 September 2017. Realisasi penerimaan tersebut mencapai 55,11% dari target Rp189,14 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017. Terjadi penurunan setoran cukai dari etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol (MMEA), serta kontraksi pada pendapatan cukai lainnya sepanjang delapan bulan ini.
Usulan keringanan pajak yang diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nyatanya tak berbuah manis. Pasalnya, Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan sebaiknya OJK tidak meminta keringanan pajak kepada Kementerian Keuangan. Hal ini, menurutnya akan menjadi tidak adil dengan institusi-institusi lainnya yang bayar pajak, seperti BUMN dan swasta juga membayar pajak apabila OJK mendapat keringanan pajak sementara yang lain tidak.
Ditjen Pajak menyatakan bahwa dalam rangka penyempurnaan dari aplikasi e-faktur versi 2.0, Pengusaha Kena Pajak hanya diimbau untuk memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor paspor pembeli yang tidak memiliki NPWP. Hestu Yoga Saksama mengatakan pengisian NIK tersebut sifatnya tidak wajib, sehingga tidak dipaksakan untuk mengisi NIK. Hal ini lantaran untuk melindungi Pengusaha Kena Pajak Penjual maupun pihak pembeli atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar oleh pembeli dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual.