PUBLIK masih cukup intens mendiskusikan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) Indonesia dari 11% menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. Isu keadilan pun tidak jarang diangkat ketika membicarakan mengenai pengenaan salah satu jenis pajak tersebut.
Sejumlah pembaca DDTCNews juga sudah menyampaikan pendapatnya melalui Debat Pajak bertajuk PPN 12%, Setuju atau Tidak? Tulis Komentar Anda, Hadiahnya Buku DDTC. Bagi Anda yang belum menyampaikan pendapat, masih ada kesempatan. Langsung klik di sini.
Sebelum melangkah lebih jauh, termasuk mengulas isu keadilan, diperlukan pemahaman pajak secara konseptual. Pemahaman berdasarkan pada prinsip-prinsip pajak yang baik (principles of good taxation) menjadi fondasi kokoh untuk menyusun dan mengevaluasi kebijakan.
Pembahasan mengenai konsep PPN ini juga diulas Darussalam, Septriadi, dan Marhani (2024) dalam buku DDTC berjudul Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Publik dapat mengunduh versi PDF buku ini secara gratis di sini.
Ulasan lebih mendalam mengenai PPN juga telah ditulis Darussalam, Septriadi, dan Dhora (2020) dalam buku Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Publik dapat membaca versi buku elektroniknya (e-book) melalui platform Perpajakan DDTC.
Seperti yang dijelaskan dalam kedua buku tersebut, PPN pada dasarnya merupakan pajak yang dikenakan atas seluruh konsumsi barang atau jasa kena pajak yang bersifat umum (general tax on consumption). Tidak ada perbedaan antara konsumsi atas barang dan jasa.
PPN ‘menutup mata’ mengenai kondisi pihak yang melakukan konsumsi. Artinya, beban pajak yang sama akan diterima konsumen dengan latar belakang kelompok penghasilan apapun. Baik kaya atau miskin, sejahtera atau prasejahtera, berpenghasilan tinggi atau rendah (Kristiaji, 2021).
Dengan demikian, PPN tidak memedulikan subjek atau orang yang mengonsumsi barang dan jasa tersebut. Sifat ini berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) yang tergantung pada subjek dan dasar kemampuannya (ability to pay) (Darussalam, 2021).
Ada 4 elemen konsep dasar PPN, yakni pajak tidak langsung (indirect tax); pajak atas konsumsi barang dan jasa; sifat umum dan netral; serta proporsional terhadap harga. Idealnya, sistem PPN efektif dan efisien jika sesuai dengan konsep dasar serta dipungut berdasarkan pada prinsip destinasi.
Namun, pada praktiknya, terdapat berbagai penyimpangan (deviasi) dari sistem PPN yang efektif dan efisien. Deviasi ini bisa berupa penerapan tarif lebih rendah (reduced rate), pembebasan PPN, tarif 0%, penggunaan threshold pengusaha kena pajak (PKP), dan lainnya.
Deviasi dari konsep tersebut dilakukan pemerintah dengan alasan untuk menghadirkan keberpihakan atau keadilan. Padahal, seperti yang telah disinggung pada awal tulisan ini, kedua aspek yang mencerminkan progesivitas itu memang tidak masuk dalam desain konsep PPN. Tak jarang PPN disebut pajak yang regresif.
Bagaimana jika dikaitkan dengan konteks kenaikan tarif? Sederhananya, jika tarif naik, berbagai deviasi tersebut secara nominal juga akan naik. Artinya, nilai keberpihakan – terlepas dari tepat sasaran atau tidaknya – akan turut membesar.
Pembebasan PPN
Salah satu contoh deviasi adalah pemberian fasilitas pembebasan, bahkan pengecualian PPN. Melalui Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah dan DPR sepakat membuat sejumlah barang dan jasa yang tadinya dikecualikan dari pengenaan PPN (Pasal 4A UU PPN) menjadi barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP).
Pengecualian dan fasilitas PPN selalu diusung untuk menjamin keadilan serta melindungi masyarakat tidak mampu. Namun, dalam rangka mewujudkan prinsip netralitas dan mencegah VAT gap yang besar, banyak negara meninjaunya secara rutin (de La Feria dan Krever, 2013).
Sejak krisis 2008, tren untuk membatasi pengecualian dan fasilitas PPN terus meningkat. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (2010) bahkan menekankan pentingnya perluasan basis PPN, khususnya jika dikaitkan dengan tingginya tax expenditure.
Sekarang, meskipun barang dan jasa, seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan kesehatan, serta jasa transportasi sudah menjadi BKP dan JKP, pemerintah masih memberikan fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan (Pasal 16B UU PPN).
Sederhananya, kebijakan yang masuk skema fasilitas tersebut masih dipertahankan. Namun, menteri keuangan dapat mengevaluasi fasilitas mengingat barang dan jasa sudah menjadi BKP dan JKP (tidak dikecualikan). Simak ‘Pembebasan atau PPN Tidak Dipungut Bisa Dievaluasi Menteri Keuangan’.
Threshold PKP
Selain pembebasan, contoh deviasi kebijakan PPN dibandingkan konsepnya adalah pengenaan threshold PKP. Kebijakan ini ditempuh untuk memberikan kemudahan sekaligus melindungi pengusaha kecil. Skema pengukuhan sebagai PKP bagi pengusaha kecil bersifat opsional.
Pelaku usaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP bila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku peredaran brutonya sudah melebihi Rp4,8 miliar. Threshold PKP senilai Rp4,8 miliar mulai berlaku sejak 2014. Sebelum tahun itu, threshold PKP hanya senilai Rp600 juta.
Menurut World Bank (2024), threshold PKP di Indonesia jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan threshold PKP di negara-negara tetangga dan anggota OECD. Threshold PKP yang tinggi pada akhirnya menekan jumlah badan usaha yang berpartisipasi dalam pemungutan dan penyetoran PPN. Mengapa? Karena jika bukan PKP, tidak ada pemungutan PPN.
Berdasarkan pada enterprise survey yang dilakukan oleh World Bank pada tahun lalu, hanya sekitar 0,3% dari total usaha kecil di Indonesia yang menyetorkan PPN. Selain World Bank, International Monetary Fund (IMF) juga mengingatkan tingginya threshold PKP di Indonesia.
Kendati demikian, hingga saat ini, pemerintah juga masih belum mengotak-atik threshold PKP. Artinya, dalam konteks regulasi atau kebijakan, pemerintah masih mempertahankan sinyal keberpihakan kepada pengusaha kecil.
Perumusan kebijakan PPN dengan mempertimbangkan threshold PKP sebenarnya pernah diulas secara mendalam oleh DDTC melalui buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan Atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional.
Beberapa contoh kebijakan yang bergeser dari konsep dasar PPN tersebut, seperti pemberian fasilitas dan pengenaan threshold PKP, pada akhirnya berkorelasi pada besarnya potensi penerimaan pajak yang hilang (revenue forgone) dari pos PPN.
Dalam Tax Expenditure Report 2022 yang dirilis Badan Kebijakan Fiskal (BKF)Â Kementerian Keuangan, estimasi serta proyeksi belanja perpajakan pos PPN dan PPnBM tercatat terus meningkat. Untuk 2019-2025, pos PPN dan PPnBM berkisar 56,5% hingga 62,2% dari total belanja perpajakan.
Dari tinjauan subjek penerima, belanja perpajakan sebagian besar dinikmati rumah tangga. BKF menyatakan hal ini berasal dari fasilitas PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa keuangan, jasa angkutan umum serta barang hasil kegiatan usaha kelautan dan perikanan.
Kemudian, ada fasilitas pembebasan PPN atas listrik untuk rumah dengan daya sampai dengan 6.600 VA serta atas jasa asuransi. Lalu, PPN dibebaskan atas jasa pelayanan kesehatan medis. Fasilitas-fasilitas itu dimanfaatkan secara langsung pada saat masyarakat melakukan kegiatan konsumsi.
Selain itu, dunia usaha kelompok UMKM juga cukup banyak memanfaatkan belanja perpajakan. Belanja perpajakan pada kelompok ini salah satunya berbentuk fasilitas PPN tidak dipungut untuk UMKM.
Berdasarkan pada tujuan kebijakan pemberian fasilitas, belanja perpajakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat mengambil porsi terbesar. Tujuan ini diharapkan dapat tercapai karena terjaganya daya beli masyarakat dengan adanya berbagai fasilitas perpajakan.
Daya beli diharapkan terjaga dengan adanya berbagai fasilitas PPN dan PPnBM dalam bentuk pengecualian atau pembebasan BKP dan JKP, seperti barang kebutuhan pokok, jasa angkutan umum, serta jasa pendidikan dan kesehatan.
Adapun belanja perpajakan yang timbul akibat tingginya threshold PKP juga terus meningkat. Pada tahun ini, nilainya diproyeksi mencapai Rp56,5 triliun atau naik dari proyeksi tahun lalu Rp52,4 triliun. Tahun depan, nilainya diproyeksi meningkat lagi menjadi Rp61,2 triliun.
Berdasarkan pada data-data tersebut, deviasi antara kebijakan dan konsep PPN ternyata berdampak cukup besar dari sisi potensi penerimaan yang seharusnya bisa masuk ke kas negara. Nilai yang dimaksudkan untuk keberpihakan itu otomatis akan naik ketika tarif PPN menjadi 12%.Â
Adapun terkait dengan kenaikan tarif, berdasarkan data yang diolah dari data IBFD di 127 negara menunjukkan bahwa per 2020 rata-rata tarif PPN global adalah sebesar 15,4%. Di 31 negara Asia, rata-ratanya sebesar 12%. Sedangkan, di Asean, tarifnya memiliki rentang antara 7-12%.
Selain itu, terdapat tren kenaikan tarif standar (umum) PPN secara global maupun di berbagai kawasan. Terdapat dugaan bahwa kenaikan tarif tersebut merupakan upaya mengompensasi revenue forgone yang timbul dari penurunan tarif PPh badan selama 2 dekade terakhir.
Lantas, bagaimana menurut Anda, apakah Anda setuju dengan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%? Sampaikan pendapat Anda melalui kanal Debat Pajak DDTCNews pada artikel PPN 12%, Setuju atau Tidak? Tulis Komentar Anda, Hadiahnya Buku DDTC.
Sebanyak 6 pembaca DDTCNews yang terpilih untuk mendapatkan buku Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Buku ini sangat penting sebagai bekal awal setiap orang yang ingin berkecimpung atau mendalami dunia pajak.
Buku tersebut merupakan cetakan kedua. Sebanyak 1.000 buku cetakan pertama April 2024 telah diterima banyak pihak, termasuk pemerintah, anggota DPR, pelaku usaha, karyawan swasta, konsultan pajak, akademisi, hingga mahasiswa. (kaw)