Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - PP 55/2022, beleid terbaru tentang pengenaan pajak penghasilan (PPh), ikut mengatur kembali definisi 'hubungan istimewa'. Istilah tersebut merupakan pintu masuk bagi pemerintah untuk melakukan berbagai mekanisme pencegahan praktik penghindaran pajak (tax avoidance).
Pasal 33 ayat (1) PP 55/2022 mengatur bahwa hubungan istimewa merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi. Kondisi yang dimaksud, antara lain, kepemilikan atau penyertaan modal, penguasaan, dan hubungan keluarga sedarah atau semenda.
Kepemilikan atau penyertaan modal muncul apabila wajib pajak memiliki modal secara langsung atau tidak paling rendah 25% pada wajib pajak lain. Kondisi yang sama juga terjadi apabila ada hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan di antara 2Â wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir.
Kemudian, kondisi atas penguasaan dianggap ada apabila memenuhi salah satu dari 6 kriteria.Â
Pertama, satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung. Kedua, 2 pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung. Ketiga, satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Keempat, terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada 2 pihak atau lebih. Kelima, para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama. Keenam, satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
Kondisi hubungan keluarga dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Perlu dicatat, 3Â kondisi tersebut merupakan kondisi yang mengakibatkan salah satu pihak dapat mengendalikan pihak yang lain. Selain itu, kondisi tersebut mengakibatkan pihak lain tidak berdiri bebas dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Ketentuan hubungan istimewa dalam PP 55/2022 ini tidak berbeda jauh dengan ketentuan sebelumnya pada Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2020 tentang tata cara pelaksanaan advance pricing agreement.
Perbedaan paling mencolok, PMK 22/2020 hanya menyebutkan 5Â kriteria dalam kondisi hubungan istimewa atas penguasaan, sedangkan PP 55/2022 menyebutkan 6 kriteria. Tambahan 1Â kriteria tersebut adalah adanya 2 pihak atau lebih yang berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung.
Sebagai informasi, pemerintah memiliki wewenang untuk mencegah praktik penghindaran pajak dengan melakukan berbagai mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) PP 55/2022. Namun, wewenang tersebut terbatas hanya terhadap transaksi antara pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Ingin mendapatkan informasi lebih komprehensif bagaimana pengaruh ketentuan hubungan istimewa ini berdampak pada wewenang penerapan mekanisme pencegahan penghindaran pajak? Selain itu, apa saja mekanisme antipenghindaran pajak tersebut dan bagaimana dampak serta strategi bagi wajib pajak?
Dapatkan pemahamannya di Seminar: Rezim Baru Antipenghindaran Pajak dalam PP 55/2022 dan Dampaknya bagi Wajib Pajak pada Rabu, 19 Januari 2023, pukul 09.00-16.00 WIB secara eksklusif di Menara DDTC Jakarta.
Jangan lewatkan kesempatan ini untuk belajar langsung dari pakarnya, yakni Romi Irawan dan B. Bawono Kristiaji. Mereka telah berpengalaman menangani berbagai kasus terkait antipenghindaran pajak serta melakukan riset terkait hal tersebut.Â
Kursi terbatas! Klik link berikut untuk mengamankan kursi Anda. Daftar segera.
https://academy.ddtc.co.id/seminar
Membutuhkan informasi lebih lanjut? Hubungi Whatsapp Hotline DDTC Academy (+62)812-8393-5151 / [email protected] (Vira) atau melalui akun Instagram DDTC Academy (@ddtcacademy). (sap)