Suasana ibu kota DKI Jakarta, beberapa waktu lalu. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menilai turunnya rasio pendapatan terhadap produk domestik bruto (PDB) sekaligus lebih tingginya pertumbuhan belanja dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan berpotensi mengganggu sustainabilitas fiskal. (Foto: Antara)
JAKARTA, DDTCNews - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menilai turunnya rasio pendapatan terhadap produk domestik bruto (PDB) sekaligus lebih tingginya pertumbuhan belanja dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan berpotensi mengganggu sustainabilitas fiskal.
Berdasarkan catatan BKF, rasio pendapatan terhadap PDB dalam 10 tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, yakni dari 15,5% pada 2010 menjadi 9,9% pada 2021.
Di sisi lain, belanja negara dalam 10 tahun terakhir cenderung tumbuh hingga 9,42%, sedangkan pertumbuhan pendapatan negara secara rata-rata hanya mencapai 8,1%.
"Hal ini berimplikasi meningkatkan risiko sejalan dengan meningkatnya pembiayaan melalui utang, yang terefleksi dari pelebaran negative primary balance, defisit, dan rasio utang," tulis BKF pada Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal - Edisi I 2021, dikutip Kamis (1/4/2021).
Berdasarkan diagnosis BKF atas kondisi makro fiskal selama 10 tahun terakhir, tekanan terhadap rasio pendapatan terhadap PDB memperlemah kemampuan negara dapat berbelanja, hal ini tercermin dari rasio belanja terhadap PDB yang cenderung mengalami penurunan.
Demi meningkatkan belanja, defisit anggaran tercatat melebar ke atas 2% dari PDB sejak 2013. Rasio utang juga tercatat meningkat sejak 2015 demi mendukung pendanaan infrastruktur.
Pada 2020 dan 2021, defisit harus diperlebar kembali menjadi di atas 3% dari PDB di tengah pendapatan yang turun. Akibatnya, utang mengalami peningkatan signifikan dan rasio utang pun meningkat menjadi 38,7% dari PDB pada 2020.
"Melihat hal tersebut, reformasi dan konsolidasi fiskal harus dilakukan untuk memitigasi risiko fiskal ke depan," tulis BKF.
Secara makrofiskal, konsolidasi fiskal merupakan momentum meningkatkan penerimaan pajak dan belanja yang lebih baik. Bila tidak ada reformasi, defisit akan kian melebar dan berdampak pada risiko utang. Risiko utang ini tercermin pada rasio utang, rasio bunga utang, dan debt service ratio.
Demi konsistensi kebijakan, konsolidasi fiskal dengan menurunkan defisit anggaran kembali ke bawah 3% dari PDB harus dilakukan pada 2023 sesuai dengan amanat UU 2/2020. Apabila ditunda, hal ini berpotensi melanggar konstitusi serta menurunkan wibawa dan kredibilitas pemerintah.
Secara umum, konsolidasi fiskal dilakukan melalui berbagai sisi, yakni dari sisi pendapatan, belanja, dan pembiayaan anggaran. Dari sisi pendapatan, penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan dioptimalkan melalui reformasi perpajakan.
Reformasi tersebut mencakup perluasan basis hingga peningkatan kepatuhan. Reformasi PNBP akan diarahkan untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara.
Dari sisi belanja, masih dari laporan BKF, sistem penganggaran akan difokuskan pada program prioritas, efisiensi belanja kebutuhan dasar, dan sinergi antarkementerian.Â
Dari sisi pembiayaan, skema pembiayaan inovatif seperti KPBU (kerja sama pemerintah dengan badan usaha), pendalaman pasar, dan penjagaan komposisi utang akan terus diupayakan. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.