PP 23/2018

DJP Jelaskan WP Orang Pribadi UMKM Tidak Perlu Buat Laporan Keuangan

Redaksi DDTCNews
Rabu, 07 Desember 2022 | 14.00 WIB
DJP Jelaskan WP Orang Pribadi UMKM Tidak Perlu Buat Laporan Keuangan

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menjelaskan wajib pajak orang pribadi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan keuangan.

Agus Sugianto, Fungsional Penyuluh Pajak Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur dan Utara menjelaskan wajib pajak orang pribadi UMKM termasuk dalam kelompok wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu yang diatur dalam PP 23/2018. Sesuai dengan ketentuan yang ada, wajib pajak tersebut dikecualikan dari kewajiban membuat laporan keuangan.

“Tadi kita sudah bahas nih kalau yang menggunakan PP 23 kan tidak ada kewajiban untuk membuat laporan keuangan,” ujar Agus dalam Live Instagram @pajakkaltimtara bertajuk Laporan Keuangan untuk Lapor Pajak Wajib Gak Sih?, dikutip pada Rabu (7/12/22).

Wajib pajak orang pribadi UMKM sesuai PP 23/2018 adalah yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak. Sesuai PMK 59/2021, wajib pajak tersebut dikecualikan dari penyelenggaraan pembukuan.

Definisi dari pembukuan sendiri adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

Karena dikecualikan dari kewajiban pembukuan tersebut, wajib pajak orang pribadi UMKM juga menjadi tidak wajib membuat laporan keuangan. Kendati demikian, Agus menjelaskan wajib pajak tetap perlu menyelenggarakan pencatatan. 

“Jadi, cukup membuat pencatatan saja. Pencatatannya runtut ya, setiap bulan. Dibikin rekapnya saja Januari berapa [omzetnya] sampai Desember,” jelas Agus.

Untuk diketahui, terdapat 4 syarat yang harus dipenuhi dalam membuat pencatatan. Pertama, dilakukan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan.

Kedua, dilakukan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, dan satuan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya terjadi. Kemudian, pencatatan perlu disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Ketiga, dilakukan dalam suatu tahun pajak berupa jangka waktu 1 tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Keempat, dilakukan secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto. (Fauzara Pawa Pambika/sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.