Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Hari ini, 10 Oktober 2022, masyarakat global memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day).Â
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental kini makin meningkat. Bersamaan dengan itu, tidak ada salahnya apabila wajib pajak mengingat kembali adanya kebijakan pajak yang berkaitan dengan jasa psikolog dan psikiater sebagai profesi penunjang kesehatan mental.Â
"Barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), antara lain: ... jasa psikolog dan psikiater," bunyi Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP, dikutip Senin (10/10/2022).Â
Aturan hukum di atas menegaskan bahwa pemberian jasa oleh psikolog dan psikiater dibebaskan dari pengenaan PPN. Tentunya hal ini memudahkan profesional yang bekerja di lingkup profesi tersebut, sekaligus meringankan pasien yang membutuhkan bantuan profesional seperti psikolog dan psikiater.Â
Seperti diketahui, berlakunya UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merombak sejumlah aturan yang sudah tertuang dalam UU PPN. Salah satunya, dihapusnya sejumlah barang dan jasa dari daftar objek pajak yang tidak dikenai PPN. Salah satunya, jasa kesehatan seperti psikolog dan psikiater.Â
Kendati begitu, penghapusan tersebut tidak lantas membuat jasa kesehatan dikenai PPN. Pemerintah, melalui UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP, kemudian memberikan fasilitas PPN terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, serta fasilitas PPN dibebaskan terhadap sejumlah barang kena pajak dan jasa kena pajak.Â
PPN terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya dan PPN dibebaskan diatur dalam Pasal 16B UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP.Â
Fasilitas PPN ini diberikan untuk mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional. Salah satu jasa yang dibebaskan dari PPN adalah jasa pelayanan kesehatan medis tertentu yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional, antara lain dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi, dokter hewan, bidan, rumah sakit, rumah bersalin, dan psikolog.Â
Kendati menyesuaikan ketentuan mengenai fasilitas PPN terutang tidak dipungut dan dibebaskan, UU HPP tidak mendefinisikan keduanya secara harfiah. Namun, kedua fasilitas tersebut dapat dibedakan berdasarkan perlakuan pengkreditan pajak masukannya yang diatur dalam Pasal 16B ayat (2) dan (3) UU PPN.
Adapun pajak masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya tidak dipungut PPN dapat dikreditkan. Sementara pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.
Dari sisi administrasi, fasilitas PPN tidak dipungut dan PPN dibebaskan tidak menggugurkan kewajiban untuk menerbitkan faktur pajak bagi PKP yang menyerahkannya. Hal ini disebabkan karena pada mulanya, transaksi tersebut terutang PPN dan PKP tersebut wajib memungut PPN.
Namun, ketika ketentuan perpajakan menetapkan transaksi tersebut masuk dalam lingkup yang menerima fasilitas PPN maka kewajiban untuk memungut PPN tersebut menjadi gugur, tetapi tidak dengan kewajiban menerbitkan faktur pajak. Untuk kode faktur pajaknya, PPN dibebaskan memiliki kode transaksi 08, sedangkan PPN tidak dipungut memiliki kode transaksi 07. (sap)