Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) memperkenalkan pajak alat berat sebagai jenis pajak baru yang menjadi kewenangan provinsi.
UU HKPD mendefinisikan alat berat sebagai alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi yang sifatnya berat bila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi dengan motor, tidak melekat secara permanen, dan beroperasi pada area tertentu.
Diperkenalkannya pajak alat berat pada UU HKPD juga merupakan tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017 yang menyatakan alat berat bukan kendaraan bermotor yang dapat dikenai pajak kendaraan bermotor (PKB).
"Pajak alat berat merupakan nomenklatur jenis pajak baru dalam RUU HKPD untuk menindaklanjuti amanat Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017," bunyi naskah akademik UU HKPD, dikutip pada Minggu (26/12/2021).
Tarif pajak alat berat pada UU HKPD diatur maksimal sebesar 0,2% dan ditetapkan oleh provinsi melalui perda. Dasar pengenaan pajak alat berat adalah nilai jual alat berat, yakni harga rata-rata pasaran umum alat berat yang bersangkutan.
Harga rata-rata pasaran umum diatur dalam peraturan menteri dalam negeri setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri keuangan. Dasar pajak alat berat akan ditinjau ulang paling lama setiap 3 tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
Pajak alat berat terutang terhitung sejak wajib pajak secara sah memiliki atau menguasai alat berat dan dapat dibayarkan secara sekaligus di muka.
Bila terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan alat berat tidak mencapai 12 bulan, wajib pajak diberikan hak untuk mengajukan restitusi atas pajak alat berat yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
Ketentuan lebih terperinci mengenai pelaksanaan restitusi pajak alat berat tersebut akan diatur melalui peraturan gubernur pada provinsi masing-masing. (rig)