Dosen Ilmu Administrasi Fiskal sekaligus Peneliti Tax Centre FIA Universitas Indonesia Titi Muswati Putranti memaparkan materi dalam webinar bertajuk Wacana Pajak Karbon di Indonesia, Kamis (12/8/2021). (tangkapan layar Zoom)
JAKARTA, DDTCNews - Pajak karbon dapat menjadi instrumen kebijakan untuk mendorong perusahaan atau individu mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan gas rumah kaca (GRK).
Dosen Ilmu Administrasi Fiskal sekaligus Peneliti Tax Centre FIA Universitas Indonesia Titi Muswati Putranti mengatakan kebijakan tersebut dapat membuat individu atau industri berusaha untuk berinovasi sehingga beralih menggunakan energi terbarukan.
“Urgensi pemungutan pajak ini adalah untuk mengurangi emisi CO2 (karbon dioksida) dan GRK lainnya yang didesain untuk memaksa pihak yang mencemari lingkungan menanggung beban dan bertanggung-jawab,” jelas Titi dalam webinar bertajuk Wacana Pajak Karbon di Indonesia, Kamis (12/8/2021).
Titi mengatakan pajak karbon merupakan bentuk disinsentif bagi wajib pajak yang secara signifikan menghasilkan emisi CO2 dan gas lainnya. Pajak ini dikenakan berdasarkan pada jumlah kandungan emisi karbon yang dikeluarkan.
Pada umumnya, tarif pajak karbon ditetapkan dengan patokan nilai mata uang suatu negara per ton emisi CO2 ekuivalen (CO2e). Kebijakan ini bertujuan untuk memengaruhi perilaku masyarakat agar mengurangi aktivitas yang berdampak pada pencemaran lingkungan.
Namun demikian, pajak karbon memiliki sejumlah kelemahan. Titi menyebutkan kelemahan tersebut di antaranya resisten secara politis, tidak ada jaminan akan menghasilkan pengurangan GRK yang ditargetkan, dan cenderung ada tekanan untuk melakukan pembebasan pajak.
Dalam kesempatan itu, Titi juga menekankan pentingnya penerapan earmarking atas pajak karbon. Penerimaan pajak karbon harus dapat dikembalikan kepada masyarakat, misalnya berupa pemberian subsidi pada teknologi yang lebih efisien atau perbaikan infrastruktur yang terdampak perubahan iklim.
Meski telah diterapkan di banyak negara, kebijakan pajak karbon menghadapi banyak tantangan. Tantangan tersebut di antaranya kesiapan dan pendapat dari industri yang terdampak serta dukungan politik dan publik.
Selain itu, penerapan pajak karbon juga perlu diiringi dengan berbagai kebijakan lagi agar lebih efektif mengurangi GRK. Kebijakan tersebut antara lain skema perdagangan karbon dan insentif pajak untuk menurunkan emisi GRK. Titi selanjutnya menguraikan 3 rekomendasi dalam penerapan pajak karbon.
Pertama, penyempurnaan instrumen yang telah dipergunakan saat ini. Instrumen tersebut seperti pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan bakar minyak (BBM), pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, serta retribusi uji kelayakan kendaraan bermotor (KIR).
Kedua, desain pengenaan cukai atas komoditas yang menimbulkan emisi karbon melalui peraturan pemerintah yang membutuhkan waktu relatif singkat dan mudah dalam proses penyusunannya. Ketiga, desain pajak karbon yang lebih komprehensif berdasarkan pada studi akademik dan pengalaman negara lain.
Dalam kesempatan tersebut, Titi juga menjelaskan upaya dunia internasional dalam menanggulangi perubahan iklim, komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi GRK, konsep pajak lingkungan beserta alternatifnya, serta kebijakan dan ketentuan pajak yang diindikasikan untuk menurunkan emisi GRK.
Adapun webinar dengan lebih dari 1300 pendaftar ini merupakan seri ketiga dari Webinar Series: University Roadshow. Acara ini juga menjadi bagian dari rangkaian acara untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Ada 2 seri webinar lain yang akan diselenggarakan. Simak infonya di sini. (kaw)