KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bertemu Sekjen OECD, Sri Mulyani Bahas Soal Pengelolaan APBN

Dian Kurniati
Kamis, 18 Maret 2021 | 16.51 WIB
Bertemu Sekjen OECD, Sri Mulyani Bahas Soal Pengelolaan APBN

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ketika berdialog dengan Sekjen OECD Angel Gurria secara virtual, Kamis (18/3/2021). (foto: hasil tangkapan layar)

JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan defisit APBN 2020 Indonesia relatif rendah di antara negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Sri Mulyani mengatakan pandemi Covid-19 menjadi tekanan berat dalam pengelolaan APBN karena penerimaan negara menurun sedangkan kebutuhan belanja meningkat. Pemerintah pun memperlebar defisit hingga 6,09% terhadap PDB pada 2020.

"Dari rencana awal defisit kami 1,76%, karena Covid-19 dan penerimaan rendah, defisitnya menjadi 6%. Bukankah ini relatif rendah dibandingkan dengan negara negara OECD lainnya?" katanya ketika berdialog dengan Sekjen OECD Angel Gurria secara virtual, Kamis (18/3/2021).

Sri Mulyani menuturkan pandemi Covid-19 mengharuskan pemerintah beberapa kali merombak APBN secara hati-hati. Pelebaran defisit hingga di atas 6% itu sangat jauh dari situasi normal yang selalu di bawah 3%.

Menurutnya, belanja negara utamanya diarahkan kepada penanganan pandemi dari sisi kesehatan, perlindungan masyarakat miskin dan rentan, serta menjaga kelangsungan dunia usaha terutama UMKM. Hasilnya cukup efektif dalam menopang pertumbuhan ekonomi.

Demikian pula dari angka kemiskinan yang tidak terlalu melebar. Angka kemiskinan pada September 2020 tercatat 27,55 juta jiwa atau 10,19%, lebih kecil dari prediksi lembaga dunia seperti World Bank yang mencapai 11,8%.

"Kami fokus untuk memastikan upaya pemulihan tetap berlanjut, dan pada saat kami melihat jika ada kelompok-kelompok yang masih membutuhkan bantuan," ujar menkeu.

Sementara itu, Sekjen OECD Angel Gurria menilai pandemi menyebabkan dampak berat bagi semua negara, termasuk Indonesia. Menurutnya, kontraksi hingga 2% pada tahun lalu tergolong sangat besar karena biasanya mampu tumbuh hingga 5%.

"Ini angka yang sangat besar, selain ada risiko soal banyaknya pekerja formal yang kehilangan pekerjaan dan bertambahnya masyarakat miskin," katanya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.