NERACA PERDAGANGAN

Neraca Perdagangan 2020 Surplus, Mendag Justru Khawatir, Ada Apa?

Dian Kurniati
Selasa, 26 Januari 2021 | 18.38 WIB
Neraca Perdagangan 2020 Surplus, Mendag Justru Khawatir, Ada Apa?

Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (21/1/2021). Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan kekhawatirannya terhadap neraca perdagangan 2020 yang mencatatkan surplus US$21,74 miliar. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc)
 

JAKARTA, DDTCNews - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan kekhawatirannya terhadap neraca perdagangan 2020 yang mencatatkan surplus US$21,74 miliar.

Lutfi mengatakan surplus tersebut berasal dari ekspor Indonesia yang minus 2,6%, sedangkan impor terkontraksi hingga 17,3%. Data impor yang menurun lebih tajam itu juga menandakan pembelian bahan baku dan bahan penolong oleh pelaku usaha di dalam negeri mengalami koreksi.

"Jadi kalau impornya turun 17,3%, saya takut akan terjadi juga perlemahan-perlemahan terhadap sektor-sektor produksi yang dikonsumsi di dalam negeri," katanya dalam sebuah webinar, Selasa (26/1/2021).

Lutfi mengatakan surplus perdagangan 2020 tidak bisa dibilang menggembirakan karena menunjukkan kinerja sektor-sektor usaha di dalam negeri tertekan. Menurutnya, situasi tersebut berbeda ketika neraca perdagangan Indonesia surplus pada 2012.

Saat itu, surplus perdagangan bukan disebabkan lemahnya impor melainkan harga berbagai komoditas yang sangat tinggi. Pada komoditas minyak dan batu bara, harganya bisa mencapai di atas US$100 per barel atau ton, sehingga surplusnya mencapai US$20 miliar.

Dia mengibaratkan situasi 2012 sebagai lari maraton ketika melewati jalanan menurun yang mulus. Sementara 2020, dia sebut sebagai jalan penuh tanjakan sehingga lari menjadi tergopoh-gopoh dan kaki terkilir.

Menurut Lutfi, pemerintah harus melakukan sejumlah langkah agar tetap bisa mencapai menyelesaikan lari maraton tersebut. Pertama, memperbaiki struktur produksi dan konsumsi dalam negeri.

Hal ini lantaran kelompok pengeluaran konsumsi berkontribusi lebih dari 50% terhadap produk domestik bruto (PDB). Konsumsi yang lemah bisa menyebabkan tekanan berat terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kedua, pemerintah harus memastikan seluruh arus barang masuk ke Indonesia kembali normal karena menyangkut pemenuhan kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Dari sisi perdagangan, dia berkomitmen memperbaiki tata kelola agar 70,3% barang impor siap melayani industri.

Menurut Lutfi, pemerintah masih perlu memberikan insentif agar sektor yang terselamatkan tidak hanya perdagangan, melainkan juga perindustrian dan keuangan.

"Karena kita membutuhkan insentif-insentif. Insentif itu bukan hanya berupa finansial, tapi insentif berbentuk kepercayaan kepada pasar untuk orang membeli lagi," ujarnya. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.