Kepala BKF Febrio Kacaribu dalam webinar “Strategi Penerimaan Perpajakan di Masa Pemulihan”, Jumat (24/7/2020). (tangkapan layar Youtube BKF)
JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menjelaskan urgensi dari munculnya rencana penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak atas Barang dan Jasa dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2020-2024.
Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan urgensi dari munculnya RUU Pajak atas Barang dan Jasa serta RUU perpajakan lainnya adalah untuk mengatasi masalah struktural perpajakan Indonesia. Masalah itu adalah tax ratio yang cenderung turun dari tahun ke tahun saat perekonomian tumbuh di atas 5%.
“Ini karena basis pajak kita yang tidak bertambah, ekonomi tumbuh tapi yang bayar pajak itu-itu aja. Mereka yang dipajaki terus dipajaki, sedangkan yang tidak dipajaki ya terus kita tidak pajaki," kata Febrio dalam webinar “Strategi Penerimaan Perpajakan di Masa Pemulihan”, Jumat (24/7/2020).
Rendahnya basis pajak ini paling terlihat dari sisi tax buoyancy atau rasio pertumbuhan pajak dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nominal. Apabila tax buoyancy berada di bawah angka 1, pertumbuhan penerimaan perpajakan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDB nominal.
Sebagai ilustrasi, Febrio mengatakan jika secara rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu tumbuh di level 5% dengan inflasi di level 3% setiap tahunnya, PDB nominal Indonesia mengalami pertumbuhan 8%.
Apabila pemerintah ingin menjaga tax ratio tetap di level yang sama dari tahun ke tahun, seharusnya penerimaan pajak perlu tumbuh pada tingkat yang sama dengan pertumbuhan PDB nominal, yakni 8%.
"Pertumbuhan penerimaan perpajakan seharusnya tumbuh dengan rate yang sama sepanjang tarif tidak berubah. Artinya kalau itu terjadi tax ratio konstan, tetapi yang terjadi di Indonesia tax ratio-nya turun," ujar Febrio.
Tax ratio yang terus menurun dari tahun ke tahun serta lebih rendahnya pertumbuhan penerimaan pajak dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nominal menunjukkan Indonesia memiliki problem struktural dalam aspek perpajakan.
Oleh karena itu, pemerintah akan mengevaluasi seluruh fasilitas yang diberikan kepada wajib pajak, termasuk yang selama ini diberikan oleh pemerintah dalam hal pajak pertambahan nilai (PPN).
Dalam Renstra Kementerian Keuangan 2020-2024, tertulis jelas RUU Pajak atas Barang dan Jasa ini bertujuan untuk menata ulang perlakuan pajak atas barang dan jasa dengan membatasi pemberian fasilitas serta mengatur ulang batasan pengusaha kena pajak (PKP).
"Semua yang terkait PPN seperti PPN DTP akan kami review lagi apakah diperlukan atau tidak, memang perlu di-review secara holistik," ujar Febrio.
Laporan estimasi belanja perpajakan yang selama ini disusun oleh BKF pun akan menjadi landasan untuk mengevaluasi stimulus-stimulus yang selama ini diberikan. Bukan tidak mungkin fasilitas yang tidak tepat sasaran bakal dicabut oleh pemerintah.
Untuk diketahui, belanja perpajakan dalam bentuk PPN tercatat selalu menjadi belanja perpajakan yang paling dominan dibandingkan dengan jenis pajak lainnya. Pada 2018, belanja perpajakan dalam bentuk PPN tercatat mencapai Rp145,61 triliun.
Secara lebih rinci, belanja perpajakan dalam bentuk PPN yang timbul akibat threshold pengusaha kena pajak (PKP) sebesar Rp4,8 miliar tercatat menjadi jenis belanja perpajakan yang paling tinggi nominalnya, yaitu mencapai Rp44,25 triliun.
Partner of Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji pun mengatakan threshold PKP yang diberlakukan di Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di dunia dan hal ini perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi oleh pemerintah.
"PKP yang tinggi ini menyebabkan kita tidak bisa memetakan secara jelas ekosistem transaksi perekonomian kita," katanya.
Guru Besar Ilmu Kebijakan dan Administrasi Kebijakan Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana juga mengungkapkan adanya kelemahan dalam belanja perpajakan berbentuk PPN. Salah satu contohnya adalah barang-barang yang tidak dikenai PPN seperti tertuang dalam Pasal 4A dari UU PPN.
"Belanja pajak ini berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat, seperti contoh daging mau daging yang biasa maupun daging wagyu itu semua dapat pembebasan PPN. Ini adalah kelemahan yang tentu saja harus dibenahi," ujar Haula. (kaw)