KOLABORASI LeIP-DDTC

Apa PR Utama Pemerintah dalam Memindahkan Pengadilan Pajak ke MA?

Redaksi DDTCNews
Rabu, 21 Mei 2025 | 09.00 WIB

JAKARTA, DDTCNews - Kedudukan Pengadilan Pajak di lingkungan peradilan di Indonesia memang unik. Sejak awal berdiri melalui UU 14/2002, Pengadilan Pajak memiliki perbedaan signifikan jika dibandingkan dengan pengadilan lain di bawah lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. 

Mengapa demikian? Buku Kajian Persiapan Penyatuan Atap Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan kepada Mahkamah Agung menjabarkan bahwa sejak awal Pengadilan Pajak memang diperuntukkan sebagai pengadilan pengganti Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Pengadilan Pajak dimaksudkan sebagai peradilan khusus tersendiri, tidak berada di salah satu lingkungan peradilan. 

Sebenarnya, 'ketidakjelasan' kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem kekuasaan kehakiman telah lama disadari oleh legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. Hal ini yang akhirnya mendorong diterbitkannya UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang meletakkan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara. 

Namun, mengingat sejawak awal Pengadilan Pajak memang tidak dimaksudkan untuk menjadi pengadilan khusus di bawah lingkungan peradian tata usaha negara, Pengadilan Pajak pada akhirnya 'berbeda' dengan pengadilan pada umumnya. Hal ini mencakup kondisi struktur organisasi, status kepegawaian, hingga kewenangan dari ketua Pengadilan Pajak. 

Dalam bab 5 buku terbitan ke-35 DDTC, Kajian Persiapan Penyatuan Atap Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan kepada Mahkamah Agung, juga diungkapkan bahwa pada 2016 dan 2020 Mahkaman Konstitusi (MK) telah mengingatkan pemerintah dan DPR untuk melakukan penyesuaian UU Pengadilan Pajak agar selaras dengan sistem satu atap. 

Pada akhirnya, MK melalui Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023 pada 3 Mei 2023 memutuskan bahwa kewenangan pembinaan nonteknis terhadap Pengadilan Pajak harus dialihkan ke MA paling lambat akhir 2026. 

Nah, pemindahan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dari yang sebelumnya di bawah Kementerian Keuangan ke MA tersebut melahirkan banyak implikasi serius terhadap UU Pengadilan Pajak secara menyeluruh. Langkah mitigasi untuk berbagai implikasi itulah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah. 

Hasil kajian Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang dituangkan dalam buku terbitan DDTC ini menekankan bahwa untuk dapat seutuhnya mengalihkan kewenangan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan (pembinaan nonteknis) dari Kemenkeu ke MA, harus dibarengi dengan merevisi UU Pengadilan Pajak. 

Pasalnya, kewenangan pembinaan nonteknis dari Kemenkeu tidak hanya terdapat dalam rumusan pasal yang dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh MK semata, tetapi tersebar dalam 10 ketentuan di dalam UU Pengadilan Pajak. 

Kesepuluh ketentuan itu mulai dari kewenangan pengangkatan ketua, wakil ketua, dan hakim pajak yang diatur dalam Pasal 8 hingga kewenangan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi kuasa hukum di Pengadilan pajak yang diatur dalam Pasal 34. 

Kajian LeIP yang didukung oleh DDTC ini bisa menjadi fondasi awal bagi stakeholder dalam membangun legislasi dan kebijakan berbasis bukti dan data dalam proses transisi penyatuan atap Pengadilan Pajak ke MA. 

Tertarik untuk membaca isi buku Kajian Persiapan Penyatuan Atap Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan kepada Mahkamah Agung secara lengkap? Klik tautan berikut ini untuk mengunduh dokumennya secara gratis! (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.