Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) membuka opsi untuk terus memperbolehkan pengusaha kena pajak (PKP) untuk menggunakan e-faktur dalam pembuatan faktur pajaknya. Kebijakan ini dipertimbangkan bersamaan dengan terus dikebutnya perbaikan coretax system. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Kamis (20/3/2205).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengatakan keberlanjutan dari penggunaan e-faktur sebagai aplikasi untuk membuat faktur pajak akan ditentukan setelah dilakukannya evaluasi.
"E-faktur belum diputuskan untuk dilepas. Nanti akan kita evaluasi dulu. Ini kan behaviour wajib pajak. Kalau bagus buat wajib pajak, ya enggak papa jalanin saja," ujar Iwan.
DJP sendiri melihat ada 'berkah' dari dibukanya kembali e-faktur, menyusul berbagai kendala teknis yang muncul pada coretax system awal tahun ini.
Berkat dibuka kembalinya e-faktur, Iwan mengatakan total faktur pajak yang diterbitkan pada Februari 2025 sudah lebih banyak bila dibandingkan dengan faktur pajak yang terbit pada Februari 2024.
Menurutnya, e-faktur diputuskan untuk dibuka kembali oleh DJP sebagai channel bagi PKP untuk membuat faktur pajak dan mengunggahnya melalui coretax administration system.
Dengan demikian, e-faktur sesungguhnya bukanlah aplikasi yang terpisah dari coretax. "Jadi e-faktur itu kan channel. Jadi sebetulnya itu adalah coretax," ujar Iwan.
Sebagai informasi, DJP resmi membuka kembali e-faktur sebagai channel bagi PKP untuk membuat faktur pajak terhitung sejak 12 Februari 2025 berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-54/PJ/2025 tentang Penetapan PKP Tertentu.
Melalui keputusan tersebut, mayoritas PKP ditetapkan sebagai PKP tertentu yang diperbolehkan untuk membuat faktur pajak menggunakan e-faktur desktop dan e-faktur host-to-host.
PKP yang tidak bisa membuat faktur pajak menggunakan aplikasi e-faktur adalah PKP yang dikukuhkan setelah 1 Januari 2025 dan PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan.
Selain pemberitaan mengenai e-faktur di atas, ada beberapa bahasan lain yang diulas oleh media nasional. Di antaranya, warning DPR bagi DJP mengenai urgensi sistem administrasi pajak yang stabil, pembaruan ketentuan pemeriksaan pajak dalam PMK 15/2025, target kepatuhan pajak yang menurun, hingga lesunya daya beli masyarakat.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Hanif Dhakiri mengingatkan DJP untuk terus melakukan perbaikan kinerja coretax administration system.
Hanif mengatakan wajib pajak memerlukan sistem yang stabil agar dapat melaksanakan kewajibannya menyetorkan pajak secara tepat waktu. Menurutnya, kelancaran penyetoran pajak pada akhirnya juga berdampak pada kinerja penerimaan negara.
"Kami juga menekankan agar stabilisasi sistem coretax system benar-benar dijaga sehingga tidak ada keterlambatan pembayaran pajak oleh wajib pajak," katanya. (DDTCNews)
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang seharusnya dihentikan akan tetap dilanjutkan apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak.
Kelebihan pembayaran pajak yang dimaksud adalah kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan (bukper) atau hasil penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (8) PMK 15/2025.
Dalam hal pemeriksaan dilanjutkan kembali maka pemeriksa pajak harus menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan dilanjutkan kepada wajib pajak atau wakil wajib pajak. Surat tersebut harus disampaikan maksimal 5 hari kerja. (DDTCNews)
Revisi ketentuan pemeriksaan pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15/2025 'ternyata' bertujuan untuk menekan tingkat kekalahan DJP dalam sengketa di Pengadilan Pajak.
Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan DJP Andri Puspo Heriyanto mengatakan selama ini tingkat kemenangan DJP pada sengketa di Pengadilan Pajak tak mencapai 50%. Kondisi ini dipandang perlu untuk diperbaiki.
"Harapannya, produk pemeriksaan itu jikapun terjadi gugatan di keberatan atau Pengadilan Pajak itu bisa tingkat kemenangannya jauh lebih baik. Saat ini, tingkat kemenangan DJP di level gugatan kurang dari 50%," ujar Andri dalam webinar yang digelar oleh Perkumpulan Praktisi dan Profesi Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI). (DDTCNews)
DJP menargetkan pelaporan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2024 sebanyak 16,21 juta. Angka ini setara 81,92% dari wajib pajak yang wajib lapor SPT Tahunan.
Angka target tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan kepatuhan formal pada 2024 lalu (untuk tahun pajak 2023) yang mencapai 85,72%.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti menyampaikan pihaknya akan menjalankan berbagai upaya untuk mendorong kepatuhan wajib pajak. Di antaranya, publikasi yang masif, pelaksanaan kampanye simpatik, edukasi kepada wajib pajak, hingga, penyediaan asistensi pelaporan SPT Tahunan. (Kontan)
Berbagai stimulus ekonomi yang dirilis pemerintah ternyata belum cukup mempan mendorong daya beli. Akibatnya, perputaran uang pada Lebaran 2025 diprediksi menyusut ketimbang tahun lalu.
Hal ini tecermin dari jumlah pemudik pada Lebaran tahun ini yang menurun, yakni 146,48 juta. Angka itu jauh di bawah jumlah pemudik tahun lalu, 193,6 juta. Bank Indonesia (BI) pun mencatat penurunan uang tunai yang disiapkan. Pada Lebaran 2025, BI menyiapkan Rp180,9 triliun, lebih rendah dari 2024 sejumlah Rp197,6 triliun.
Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Chandra Wahjudi juga memprediksi perputaran uang Lebaran tidak akan merata, berpusat di Jawa saja. Kondisi ini tentu akan berimbas terhadap perekonomian di daerah. (Kontan) (sap)