Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Cukai.
UU Cukai pun telah mengatur sifat atau karakteristik barang yang bisa dikenakan cukai. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU Cukai. Berdasarkan pasal tersebut ada 4 sifat atau karakteristik barang yang bisa dikenai cukai.
“Konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan,” bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Cukai, dikutip pada Sabtu (27/7/2024).
Maksud ‘pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan’ adalah pungutan cukai dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan sebagai barang mewah dan/atau bernilai tinggi.
Namun, barang tersebut bukan merupakan kebutuhan pokok, sehingga tetap terjaga keseimbangan pembebanan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah.
Adapun barang yang memenuhi sifat atau karakteristik tersebut dikenakan cukai dan disebut sebagai barang kena cukai (BKC). Berdasarkan UU Cukai, ada 3 jenis BKC yang dikenakan cukai. Pertama, etil alkohol atau etanol.
Kedua, minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dalam kadar berapa pun. Ketiga, hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asean, jumlah objek kena cukai di Indonesia tersebut relatif sedikit. Rata-rata objek kena cukai di kawasan Asean mencapai sekitar 11 kategori. Simak Daftar Barang Kena Cukai di Negara Asean, Indonesia Paling Sedikit.
Melalui UU HPP, pemerintah mengatur ruang penambahan atau pengurangan jenis BKC. Namun, proses penambahan BKC tersebut tidaklah mudah karena harus melewati beragam tahap, termasuk mendengarkan aspirasi masyarakat.
“Penambahan atau pengurangan jenis BKC diatur dengan peraturan pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” bunyi Pasal 4 ayat (2) UU Cukai s.t.d.d. UU HPP. (sap)