Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menegaskan akan terus berupaya menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang diperlukan untuk menerapkan prinsip ultimum remedium atau sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam menangani pelanggaran di bidang cukai.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan perlu kehati-hatian ekstra dalam menerbitkan RPP ultimum remedium di bidang cukai tersebut. Dalam prosesnya, Kemenkeu banyak berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain seperti Kejaksaan Agung untuk merumuskan RPP.
"Tentu ada sinkronisasi ketentuan di situ dan kita harus hati-hati," katanya, dikutip pada Rabu (21/6/2023).
Prinsip ultimum remedium dalam pelanggaran cukai telah diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam hal ini, pemerintah harus menerbitkan PP untuk mengimplementasikan ultimum remedium pada tahap penyidikan tindak pidana di bidang cukai.
Nantinya, Kemenkeu juga akan menerbitkan PMK mengenai tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara, yang menjadi aturan turunan PP.
Sementara pada akhir tahun lalu, Kemenkeu telah menerbitkan PMK 237/2022 yang memuat ketentuan teknis prinsip ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai di tahap penelitian.
Nirwala mengatakan penyusunan RPP lebih rumit karena melibatkan beberapa kementerian/lembaga. Meski demikian, dia menyebut peraturan tersebut akan terbit dalam waktu dekat.
"Dalam tahun ini juga [akan berlaku], saya kira," ujarnya.
Sebelumnya, Dirjen Bea dan Cukai Askolani menyebut RPP ultimum remedium di bidang cukai sudah rampung diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, RPP tersebut dilakukan perbaikan karena memperoleh koreksi dari Kementerian Sekretariat Negara sebelum diteken presiden.
Melalui UU HPP, pemerintah merevisi UU 39/2007 tentang Cukai dan memperkenalkan prinsip ultimum remedium dalam menangani pelanggaran di bidang cukai. UU HPP juga mengatur penyesuaian sanksi administrasi dalam upaya pemulihan kerugian pendapatan negara pada saat penelitian dan penyidikan.
Melalui ketentuan dalam UU HPP, pejabat DJBC berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Dalam hal hasil penelitian merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, maka dapat diselesaikan dengan membayar sanksi administratif.
Penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai hanya dibatasi pada 5 pasal yaitu Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai. Kelima pasal tersebut terkait dengan pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.
Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar.
Kemudian, perubahan juga terjadi pada Pasal 64 UU Cukai yang terkait dengan pemulihan kerugian pendapatan negara pada tahap penyidikan. Pada UU Cukai yang berlaku, penghentian penyidikan wajib membayar pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.
Namun melalui UU HPP, pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Pelaku juga bisa terhindar dari pidana penjara saat perkara sudah masuk ke pengadilan dan sudah membayar sanksi administratif. (sap)