Suasana konferensi pers pada Rabu (5/9/2018)
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah akhirnya menaikkan tarif pajak penghasilan pasal 22 impor untuk 1.147 pos tarif atau komoditas. Langkah ini diambil untuk mengendalikan importasi komoditas yang berisiko semakin memperparah defisit neraca transaksi berjalan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sebanyak 1.147 pos tarif komoditas nonmigas ini merupakan hasil identifikasi Kemenkeu bersama Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kantor Staf Presiden.
“Instrumen fiskal PPh kami lakukan secara langsung memang bertujuan untuk mengendalikan impor barang-barang. Pemerintah lakukan langkah cepat sekaligus selektif di situasi yang tidak biasa saat ini,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (5/9/2018).
Adapun, 1.147 pos tarif itu terbagi menjadi tiga kategori sebagai berikut:
Pertama, 210 komoditas yang mengalami kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 dari 7,5% menjadi 10%. Kategori ini mencakup barang mewah seperti mobil CBU dan motor besar.
Kedua, 218 komoditas yang tarif PPh pasal 22-nya naik dari 2,5% menjadi 10%. Kategori ini meliputi barang konsumsi yang sebagian besar telah dapat diproduksi di dalam negeri seperti barang elektronik, sabun, sampo, kosmetik, serta peralatan masak atau dapur.
“Kita berharap industri dalam negeri bangkit karena selain memproteksi impor, dengan penguatan dolar [harga barang impor] menjadi lebih mahal,” kata Sri Mulyani.
Ketiga, 719 komoditas yang mengalami kenaikan tarif PPh pasal 22 dari 2,5% menjadi 7,5%. Komoditas yang masuk kategori ini merupakan barang yang digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan lainnya, seperti bahan bangunan, ban, kabel, dan produk tekstil.
“Barang substitusinya sudah ada di dalam negeri sehingga industri dalam negeri bisa mengisi,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah juga memutuskan tidak menyesuaikan tarif PPh pasal 22 sebesar 2,5% atas 57 item komoditas. Barang-barang yang masuk kelompok ini dinilai memiliki peranan besar untuk menjaga pasokan bahan baku dan berdampak pada perekonomian.
Pengendalian impor dengan kenaikan instrumen PPh 22 ini bukan hal baru yang dilakukan pemerintah. Pemerintah pernah memberlakukan kebijakan serupa pada 2013 dan 2015. Pada 2013, pemerintah menerbitkan PMK No.175/PMK.011/2013 juga untuk mengendalikan impor setelah Taper Tantrum.
Saat itu, pemerintah menaikkan tarif PPh pasal 22 atas 502 item komoditas konsumsi dari 2,5% menjadi 7,5%. Pada 2015, pemerintah melanjutkan kebijakan ini dengan menerbitkan PMK 107/PMK.010/2015.
Dengan PMK yang muncul pada 2015 itu, pemerintah menaikkan tarif PPh pasal 22 atas 240 item komoditas konsumsi dari 7,5% menjadi 10% atas barang konsumsi tertentu yang dihapuskan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM)-nya.
Kali ini, beleid terbaru juga setingkat PMK dan sudah diteken oleh Sri Mulyani. Kendati masih dalam proses pengundangan (penomoran), beleid ini berlaku efektif 7 hari setelah diteken. Tanpa merinci jangka waktunya, Sri Mulyani menegaskan regulasi berlaku hingga ada keputusan dicabut oleh pemerintah.
Seperti diketahui, kondisi defisit neraca transaksi berjalan yang sudah lebih tinggi dari tahun lalu disebut-sebut turut berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Dalam beberapa hari terakhir, pelemahan nilai tukar rupiah terus berlanjut mendekati Rp15.000 per dolar AS. (kaw)