PARIS, DDTCNews – Baru-baru ini OECD mengeluarkan panduan yang dirancang untuk membantu para pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengevaluasi dan mengembangkan kerangka hukum serta administrasi untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dalam transaksi lintas batas.
Berdasarkan pernyataan tertulis OECD, panduan ini akan mendukung penerapan standar yang disepakati secara internasional untuk perlakuan PPN atas transaksi lintas batas dan memiliki relevansi khusus dengan digitalisasi ekonomi yang cepat dan berkelanjutan.
“Ledakan e-commerce dan dampaknya terhadap pemungutan PPN atas penjualan lintas batas dari bisnis ke konsumen (B2C), diidentifikasi sebagai kunci dari tantangan pajak dalam konteks proyek base erosion and profit shifting (BEPS),” ungkap pernyataan OECD, Selasa (24/10).
Panduan akan berfokus pada penerapan standar yang disepakati secara internasional dalam rekomendasi yang dipaparkan dalam laporan akhir OECD dan G20 pada tahun 2015 lalu, yakni mengenai Aksi 1 Proyek BEPS.
“Panduan ini dikembangkan oleh OECD bersama G20 dengan keterlibatan aktif berbagai yurisdiksi di luar keanggotaan dan perwakilan komunitas bisnis global,” tambahnya.
Panduan tersebut akan menjawab pertanyaan dan masalah terkait desain kebijakan mengenai pemungutan PPN atas transaksi lintas batas barang tidak berwujud dan jasa dalam hal penjual atau pemasok tidak berada di dalam yurisdiksi pemajakan di mana barang dan jasa tersebut digunakan.
Seperti dilansir dari oecd.org, Uni Eropa, yang menjadi pengadopsi pertama rekomendasi Aksi 1 Proyek BEPS telah mengidentifikasi total penerimaan PPN melalui skema Mini One Stop Shop (MOSS) lebih dari €3 miliar atau Rp47,7 triliun pada tahun pertama skema tersebut dijalankan.
MOSS juga memainkan peran penting dalam mengurangi beban kepatuhan bagi dunia bisnis. Sekitar 70% dari total transaksi lintas batas terhadap barang tidak berwujud dan jasa yang berada dalam lingkup MOSS, telah berhasil dikumpulkan.*