KITA mengenal pajak dalam rangka impor (PDRI) sebagai pajak impor yang terdiri atas pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang mewah (PPnBM), dan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22. Besarnya setiap jenis pajak itu dihitung menurut nilai impor dan tarif pajaknya.
Tidak seperti pajak lain yang dipungut Ditjen Pajak (DJP), PDRI ini dipungut Ditjen Bea Cukai (DJBC) bersamaan dengan dipungutnya bea masuk. Hal ini diatur antara lain dalam Pasal 22 UU PPh, Pasal 4 dan 12 UU PPN, serta Pasal 16 UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Dokumen dasar pencatatan piutang PDRI yang sekaligus sebagai penetapan, pemberitahuan dan penagihan DJBC kepada importir adalah Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean (SPKTNP), serta Surat Penetapan Pabean (SPP).
Adapun penagihan kepada importir atas bea masuk dan cukai, termasuk PDRI, dilakukan DJBC berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 169/PMK. 04/2017 tentang Perubahan PMK No. 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
Penagihan tersebut dilakukan melalui 4 cara, yaitu menerbitkan Surat Teguran, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, dan pelimpahan piutang PDRI ke Ditjen Pajak (DJP) dengan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak dalam Rangka Impor (SP3DRI).
Surat Teguran digunakan ketika utang pajak tidak dilunasi sampai jatuh tempo pembayaran. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dipakai tanpa menunggu jatuh tempo jika terjadi kondisi khusus seperti penghentian usaha atau kepailitan penanggung pajak.
Surat Paksa digunakan ketika utang tidak dilunasi setelah lewat 21 hari dari Surat Teguran, atau telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus. Bersamaan dengan terbitnya Surat Paksa itu, piutang PDRI dilimpahkan ke DJP dengan SP3DRI, dan selanjutnya penagihan menjadi tugas DJP.
Tidak Diakui
PADA cara yang terakhir itulah masalah mulai muncul. Menurut Pasal 18 ayat (1) UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dokumen sumber piutang pajak yang diakui DJP hanyalah surat ketetapan/surat tagihan dari otoritas perpajakan.
Pasal itu menyebut dasar penagihan adalah Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKPb), Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali.
Ini berarti, penagihan pajak dilakukan berdasarkan dokumen yang diterbitkan otoritas perpajakan (DJP), dalam hal ini DJP, Pengadilan Pajak (PP), dan Mahkamah Agung (MA). Karena itu, DJP tidak mengakui dokumen penetapan PDRI yang dirilis DJBC sebagai dasar penagihan pajak.
Di sisi lain, Pasal 16 dan 17 UU Kepabeanan memberi wewenang DJBC untuk menetapkan dan menagih kekurangan bea masuk, PDRI, dan sanksi administrasinya. DJBC juga berhak menetapkan/menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk perhitungan bea masuk.
Perubahan tarif dan nilai pabean itu akan mengakibatkan kekurangan/kelebihan bea masuk, sekaligus besaran nilai PDRI yang jadi kewajiban importir/wajib pajak. Kekurangan bea masuk dan PDRI tersebut selanjutnya ditetapkan DJBC dalam dokumen SPTNP, SPKTNP, atau SPP.
Dengan demikian, menurut UU Kepabeanan, dokumen sumber penetapan, pemberitahuan, dan penagihan serta dasar pencatatan piutang PDRI adalah SPTNP, SPKTNP, atau SPP. Dari sini kita tahu ada ketidakselarasan antara UU KUP dan UU Kepabeanan dalam mengatur PDRI.
Di UU KUP, pihak yang menetapkan piutang PDRI adalah DJP, PP, dan MA. Di UU Kepabeanan DJBC. Di UU KUP, dokumen sumber piutang pajak adalah STP, SKPKB, SKPKBT, SKPb, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan PK, di UU Kepabeanan SPP, SPTNP, dan SPKTNP.
Ketidakselarasan inilah yang menyebabkan DJP meneliti kembali SP3DRI dari DJBC, karena SP3DRI itu tidak diakui UU KUP sebagai dasar penagihan pajak. Dengan begitu, DJP memberlakukan SP3DRI dari DJBC sekadar sebagai informasi, data, laporan dan pengaduan.
DJP tidak menggunakan secara langsung dokumen SPTNP dan SPKTNP yang dirilis DJBC saat pelimpahan piutang SP3DRI untuk menetapkan besarnya PDRI. DJP juga tidak mencatat informasi dalam SP3DRI itu sebagai piutang di neraca, selama belum terbit STP, SKPKB, atau SKPKBT.
Daluwarsa Pajak
KETIDAKSELARASAN ini juga terlihat dari daluwarsa pajak. Menurut UU KUP, daluwarsa penetapan pajak 5 tahun, di UU Kepabeanan 2 tahun. Begitu pula masa daluwarsa penagihan, di UU KUP 5 tahun, di UU Kepabeanan 10 tahun. Hal ini tentu berpotensi memicu ketidakpastian hukum.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2017 mengungkapkan ketidakselarasan dua UU ini telah mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan negara dari piutang pajak yang sudah diterbitkan SP3DRI pada 2010-2017 sebesar Rp656,59 miliar.
Hal ini berlanjut lagi pada 2018. BPK kembali menyebut ada Rp588,77 miliar piutang SP3DRI 2010-2018—Rp16,30 miliar di antaranya lewat daluwarsa karena terbit 2010-2013—yang tidak disajikan sebagai piutang dalam neraca karena belum diterbitkan ketetapan oleh DJP.
Padahal, melalui LHP BPK 2016, BPK telah merekomendasikan agar Menteri Keuangan mengkaji pengakuan agar SP3DRI dapat dipersamakan dengan SKP sekaligus menetapkan kebijakan berdasarkan kajian itu. Namun, hingga kini rekomendasi tersebut belum ditindaklanjuti.
Di luar itu, ada masalah dari ketidakjelasan mekanisme penghapusan PDRI yang lewat daluwarsa tadi. PMK No. 71/PMK.04/2012 hanya mengatur mekanisme penghapusan atas penetapan kurang bayar bea masuk dan cukai, dan tidak mengatur penghapusan atas piutang PDRI.
Sementara itu, PMK No. 68/PMK.03/2012 hanya menyebutkan bahwa piutang yang bisa dihapus adalah yang tercantum dalam STP, SKPKB, dan dokumen lain yang ditetapkan DJP. Adapun, piutang PDRI yang dikelola DJP tidak bisa dihapus, karena berasal dari SPTNP yang dirilis DJBC.
Dengan mekanisme yang belum jelas ini, DJP akhirnya tidak menghapus piutang PDRI. Akibatnya 45% piutang SP3DRI yang dilimpahkan DJBC dari 2010-2018 dan tidak dapat ditagih/ditetapkan DJP, masih diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan Kemenkeu.
Selain itu, belum ada integrasi data DJBC dan DJP. Integrasi data pajak dan impor sangat diperlukan guna mengoptimalkan penerimaan PDRI. Saat ini, data pada DJBC dan DJP belum terintegrasi sehingga menyebabkan proses pertukaran data memerlukan waktu lama.
Terdapat kelemahan kelengkapan data pendukung PDRI dan koordinasi DJBC dan DJP. Hambatan pertukaran data tersebut pada gilirannya mengakibatkan penelitian menjadi lebih lama sehingga piutang menjadi kedaluwarsa dan mengakibatkan hilangnya penerimaan negara.
Adanya integrasi data jelas membantu mempercepat proses validasi dokumen impor oleh DJBC, dan pemeriksaan kepatuhan perpajakan serta kelengkapan data pendukung oleh DJP. Penerimaan PDRI tentu akan lebih optimal jika didukung integrasi data tersebut.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.