Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak yang mendapatkan keuntungan saat melakukan transaksi cryptocurrency harus menghitung dan menyetorkan pajaknya sendiri.
Sampai dengan saat ini, masih belum ada mekanisme pemotongan atas penghasilan dari aset kripto. Dengan demikian, ketika wajib pajak melakukan penarikan (withdraw) dari bursa aset kripto, penghasilan tersebut belum dipotong pajak.
Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan transaksi saham yang dilakukan di bursa efek. Ketika wajib pajak menjual saham di bursa efek, penjualan tersebut sudah langsung dikenai PPh final dengan tarif 0,1%.
"Sampai saat ini belum ada mekanisme pemotongan/pemungutan pajak berkaitan dengan transaksi dengan markeplace [yang digunakan untuk transaksi asset kripto] tersebut," ujar @kring_pajak, dikutip pada Minggu (16/1/2022).
Sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh, objek PPh adalah penghasilan. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak baik dari Indonesia maupun dari luar negeri.
Suatu penghasilan dapat dipakai untuk melakukan konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan. Merujuk pada ayat penjelas Pasal 4 ayat (1) UU PPh, pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima wajib pajak.
Dalam 1 tahun pajak, terdapat kemungkinan wajib pajak memiliki lebih dari 1 sumber penghasilan. Sepanjang tidak dikecualikan dari objek pajak maka penghasilan tersebut adalah objek pajak.
Bila suatu penghasilan diperoleh wajib pajak tanpa dipotong pajak, bukan berarti penghasilan tersebut tidak terutang pajak sama sekali. "Jadi, tidak hanya penghasilan dari yang berkaitan dengan profesi saja," tulis @kring_pajak. (kaw)
Hai, Kak.
— #PajakKitaUntukKita (@kring_pajak) January 14, 2022
Sampai saat ini belum ada mekanisme pemotongan/pemungutan pajak berkaitan dengan transaksi dengan markeplace tersebut. Dalam ketentuan Pajak Penghasilan secara umum, yang menjadi objek pajak tidak hanya penghasilan terkait profesi kerja seseorang.
(1/5)