ALTERNATIVE Minimum Tax (AMT) tengah menjadi opsi yang dipertimbangkan dalam upaya melawan praktik penghindaran pajak dengan cara menihilkan laba usaha.
Di satu sisi, kerugian usaha pada dasarnya dapat dipengaruhi kesalahan proyeksi, extraordinary market condition, atau business life cycle perusahaan tersebut yang memang baru mendapatkan break event point dalam jangka waktu panjang (Wright, 2001). Akan tetapi, pada dasarnya, tidak ada perusahaan yang ingin rugi terus-menerus.
Oleh karena itu, terdapat indikasi bahwa kerugian terus-menerus didasari motif mencari keuntungan pajak (tidak membayar pajak) dengan cara mengalihkan labanya ke perusahaan afiliasi yang berada di luar negeri. Simak ‘Sri Mulyani: Jumlah Wajib Pajak yang Lapor Rugi Terus 5 Tahun Naik’.
Kerugian terus-menerus juga mencerminkan adanya suatu alokasi laba yang tidak adil antarperusahaan dalam satu grup. Tidak mengherankan jika kerugian secara terus-menerus merupakan salah satu indikasi kuat atas praktik pengalihan laba (United Nations, 2013).
Merespons kemungkinan tersebut, berbagai negara telah menerapkan AMT. Aslam dan Coelho (2021), dalam Working Paper yang berjudul A Firm Lower Bound: Characteristics and Impact of Corporate Minimum Taxation menyajikan tren hasil estimasi efektivitas kebijakan tersebut.
Publikasi terbitan International Monetary Fund (IMF) tersebut meneliti dampak AMT yang ternyata telah diterapkan sedikitnya di 50 negara seluruh dunia.
Menariknya, Aslam dan Coelho menyebut AMT dapat saling melengkapi dengan Global Minimum Tax yang tengah menjadi bahasan konsensus global. AMT pada dasarnya “hanya” menyasar pada penghindaran pajak atas penghasilan yang berasal dari negara sumber penghasilan. Sementara itu, Global Minimum Tax dapat menargetkan penghindaran pajak atas penghasilan yang berasal dari luar negeri.
Terdapat tiga macam desain AMT yang diterapkan berbagai negara. Pertama, AMT yang menjadikan omzet sebagai basis pajak. Desain ini paling banyak diterapkan berbagai negara. Kedua, AMT yang menyasar pada nilai buku aset usaha sebagai basis pajak. Ketiga, restrukturisasi perhitungan penghasilan kena pajak (Modified-income Minimum Tax).
Secara umum, AMT diterapkan berbagai negara, baik berpenghasilan tinggi, menengah, maupun rendah. Adapun AMT yang berbasis pada omzet pada umumnya diterapkan negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Sementara itu, AMT dengan model Modified-income Minimum Tax lebih banyak digunakan negara berpenghasilan tinggi. Hal ini kemungkinan dikarenakan penerapan model ini lebih rumit secara administrasi sehingga tidak menjadi preferensi negara berpenghasilan menengah ke bawah yang umumnya belum memiliki sistem administrasi yang mapan.
Estimasi Dampak AMT
ASLAM dan Coelho menemukan penerapan AMT di 50 negara diikuti dengan peningkatan rata-rata tarif efektif wajib pajak badan sebesar 1,6%. Artinya, ada sinyal penurunan perencanaan pajak yang agresif setelah diterapkannya AMT.
Peningkatan tarif efektif rata-rata tersebut ternyata 1% lebih tinggi pada negara-negara yang menggunakan desain Modified-income Minimum Tax dibandingkan dengan rata-rata sampel dengan desain lainnya. Namun, hal tersebut dapat dikarenakan adanya perbedaan karakteristik negara yang menerapkan mengingat desain tersebut umumnya diterapkan di negara-negara berpenghasilan tinggi atau lebih maju.
Kemudian, hasil estimasi juga menunjukkan keberhasilan AMT dalam mendorong peningkatan pelaporan laba usaha. Dengan kata lain, AMT mengurangi insentif wajib pajak badan untuk melakukan underreporting laba usaha untuk tujuan pajak.
Dengan demikian, penelitian yang terbilang pionir ini menguatkan argumentasi efektivitas penerapan AMT untuk meningkatkan tarif efektif yang akhirnya dibebankan kepada wajib pajak badan.