KAMUS PAJAK

Begini Cara Restitusi PPN yang Seharusnya Tidak Terutang

Redaksi DDTCNews
Minggu, 08 Maret 2020 | 10.43 WIB
Begini Cara Restitusi PPN yang Seharusnya Tidak Terutang

PASAL 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PP 1/2012) mengatur mengenai restitusi PPN yang terjadi karena adanya kesalahan dalam pemungutan.

Pengembalian berdasarkan Pasal 13 PP 1/2012 tersebut dapat dilakukan apabila 3 (tiga) kondisi sebagai berikut terpenuhi:

  1. terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan PPN yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut;
  2. PPN yang salah dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan; dan
  3. PPN yang salah dipungut tersebut hanya dapat dimintakan kembali oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan, belum dibebankan sebagai biaya, atau belum dikapitalisasi dalam harga perolehan.

Tata cara mengajukan permohonan dan restitusi PPN yang disebabkan oleh kesalahan pemungutan atau pembayaran PPN yang seharusnya tidak terutang ini, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang (PMK 187/2015).

Mengacu pada aturan di atas, permohonan restitusi PPN atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan apabila terjadi:

  1. kesalahan pemungutan PPN yang mengakibatkan pajak dipungut lebih besar daripada PPN yang seharusnya dipungut yang dapat berupa pemungutan PPN terhadap bukan PKP yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut yang mengakibatkan pajak yang dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
  2. kesalahan pemungutan yang bukan merupakan objek, yang dapat berupa pemungutan PPN yang seharusnya tidak dipungut.

Dalam Pasal 13 ayat (2) PMK 187/2015 disebutkan bahwa PPN yang seharusnya tidak dipungut, dapat dimintakan kembali oleh pihak yang dipungut, sepanjang pihak yang dipungut bukan PKP, dengan mengajukan permohonan.

Permohonan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan harus ditandatangani oleh wajib pajak yang mengajukan serta dilampiri dengan dokumen tertentu. Dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan pihak pembayar, permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kemudian, permohonan ini disampaikan secara langsung ke KPP tempat wajib pajak dipungut terdaftar dan kepada pemohon diberikan bukti penerimaan surat. Selain itu, penyampaian permohonan juga dilakukan melalui pos dengan bukti pengiriman surat atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat. Bukti penerimaan surat atau bukti pengiriman surat ini merupakan bukti penerimaan surat permohonan.

Setelah melakukan penelitian dan memperoleh tambahan dokumen pendukung sepanjang diperlukan, DJP dapat mengembalikan kelebihan pembayaran dimaksud dengan menerbitkan SKPLB apabila memenuhi ketentuan:

  1. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
  2. pajak yang telah disetor tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan PPh, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
  3. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN wajib pajak pemungut; dan
  4. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh wajib pajak yang dipungut.

Selain kesalahan dalam pemungutan PPN yang seharusnya tidak terutang, restitusi PPN juga dapat dilakukan apabila terjadi kesalahan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan pajak dalam rangka impor, yang salah satunya meliputi PPN yang telah dibayar dan tercantum dalam:

  1. Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP) atau Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP);
  2. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor (SPKPBM), SPTNP, atau Surat Penetapan Pabean (SPP) yang telah diterbitkan keputusan keberatan;
  3. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan putusan banding;
  4. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali;
  5. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding;
  6. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan kembali; atau
  7. dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang,

yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak.

Restitusi PPN impor dapat diajukan oleh wajib pajak yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan. Permohonan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan harus ditandatangani oleh wajib pajak yang mengajukan serta dilampiri dengan dokumen tertentu berupa:

  1. fotokopi bukti pembayaran pajak berupa surat setoran pabean cukai dan pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan surat setoran pabean cukai dan pajak;
  2. fotokopi SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, SPP, atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang;
  3. fotokopi keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali yang terkait dengan SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, atau SPP, dalam hal diajukan keberatan, banding dan/atau peninjauan kembali terhadap SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, atau SPP;
  4. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
  5. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan wajib pajak, permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sama halnya dengan restitusi PPN atas adanya kelebihan pembayaran PPN karena terjadi kesalahan dalam pemungutan, permohonan restitusi PPN yang berhubungan dengan impor ini disampaikan ke KPP tempat wajib pajak terdaftar dan kepadanya diberikan bukti penerimaan surat. Atau bisa pula melalui pos dengan bukti pengiriman surat atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

DJP dapat melakukan pengembalian kelebihan pembayaran PPN dan menerbitkan SKPLB apabila memenuhi ketentuan:

  1. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara; dan
  2. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor terkait dengan PPN impor dan SPT Tahunan tahun pajak terjadinya pembayaran telah dilaporkan, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan.

Kamus Pajak ini disadur dari salah satu bab di Buku Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai yang ditulis oleh Darussalam, Danny Septriadi, dan Khisi Armaya Dhora yang dapat diunduh secara gratis di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Ami
baru saja
pak kalo semisal saya di serang tapi npwp di baturaja lampung bisa diurus dari serang gak sih pak tanpa harus ke lampungnya?