LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Antara Reformasi Pajak dan Reformasi Birokrasi

Redaksi DDTCNews
Jumat, 17 Januari 2020 | 14.13 WIB
ddtc-loaderAntara Reformasi Pajak dan Reformasi Birokrasi
Josua Hasiholan Munthe
Humbang Hasundutan,
Sumatera Utara

PERAMPINGAN birokrasi dalam konteks reformasi birokrasi sebenarnya bukan topik baru dalam pemerintahan. Perampingan birokrasi biasa dilakukan untuk mewujudkan reformasi birokrasi negara yang sebelumnya cenderung berbelit-belit sehingga menghambat berbagai proses pembangunan.

Di Indonesia, masalah birokrasi dan instabilitas kebijakan termasuk regulasi pajak menjadi problem penting yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan negara. OECD, 2018). Contoh sektor yang secara jelas terkena dampak masalah tersebut adalah otoritas pajak atau Ditjen Pajak (DJP).

DJP yang memiliki urgensi tinggi sebagai badan penghimpunan dana negara seringkali mengalami kendala dalam hubungannya dengan wajib pajak. Situasi ini kemudian berujung pada ketidakpastian pajak. Istilah ini mengacu pada gangguan bagi wajib pajak dalam membayar pajak.

Ada beberapa yang menyebabkan situasi itu. Pertama, perlakuan DJP yang tidak dapat diprediksi atau tidak konsisten. Kedua, DJP yang terlalu birokratis bagi wajib pajak untuk menjalankan kepatuhannya. Ketiga, inkonsistensi atau konflik tentang interpretasi pajak internasional.

Rencana perampingan birokrasi tersebut tentu layak diberikan apresiasi. Pemerintah Joko Widodo memastikan selambatnya pada Juni 2020 seluruh kementerian telah melakukan perampingan birokrasi, sebagai jawaban akan kegelisahan berbagai pihak.

Namun, DJP telah menerapkan perampingan birokrasi terlebih dahulu. Hal ini didukung oleh konsep perampingan birokrasi yang sejalan dengan pilar reformasi perpajakan sejak akhir 2016. Di sisi lain, ada kewenangan bagi DJP untuk mendesain struktur organisasi sendiri.

Keserasian Pilar
DARI lima pilar reformasi pajak, ada tiga pilar yang terkait dengan perampingan birokrasi. Pertama, sumber daya manusia (SDM), DJP harus fokus pada SDM yang kompeten, profesional, kredibel, berintegritas dan dapat menjalankan proses bisnis untuk menghimpun penerimaan negara.

Hal itu sejalan dengan strategi reformasi birokrasi yang dilakukan, yaitu pemangkasan eselon yang dinilai terlalu buncit dan mempersulit sistem perpajakan Indonesia. Pemangkasan eselon difokuskan pada aparatur sipil negara (ASN) berpangkat eselon III dan IV.

Selanjutnya, dua jabatan tersebut dialihkan ke jabatan fungsional. Harapannya, pengalihan itu akan mendorong ASN bekerja berdasarkan kompetensi dan keahlian sesuai dengan latar belakang yang dimiliki untuk mendongkrak produktivitas dan kinerjanya.

Kedua, pilar organisasi. DJP harus memiliki struktur organisasi yang ideal dan fleksibel dengan mempertimbangkan karakteristik organisasi, cakupan geografis, kearifan lokal, ekonomi, potensi penerimaan dan rentang pengendalian yang memadai.

Upaya perampingan birokrasi ini memang suatu hal yang positif karena dengan memangkas hirarki struktural, diharapkan birokrasi mampu menyederhanakan proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan efisien.

Ketiga, proses bisnis, simplifikasi proses bisnis akan membuat pekerjaan menjadi lebih efektif, efisien, dan akuntabel. Contohnya pengesahan PP No. 78/2019 tentang Fasilitas PPh untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerah Tertentu yang merevisi PP No. 9/2016 dan PP No.18/2015.

Inti dari PP tersebut adalah adanya kemudahan mekanisme pemberian insentif tax allowance sekaligus memperjelas mekanisme melalui online single submission. Aturan ini sangat krusial untuk memastikan insentif fiskal yang diberikan dapat mendorong perekonomian nasional.

Ketika pemerintah berhasil mewujudkan insentif keringanan pajak itu, tentu iklim investasi akan membaik. Dari situ diharapkan terbuka kesempatan kerja yang lebih luas, yang akan berujung pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih maju.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.