JAKARTA, DDTCNews – Hari ini, Selasa (18/7), Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) dengan agenda mendengar mendengar keterangan DPR dan tiga ahli yang dihadirkan pemohon.
Judicial review ini terkait dengan pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) atas alat berat. Pemohon sidang perkara ini antara lain PT Tunas Jaya Pratama, PT Mappasindo, dan PT Gunungbayan Pratamacoal.
Pada sidang sidang sebelumnya, Rabu (6/7), MK telah menggelar sidang dengan agenda mendengar keterangan Pemerintah dan DPR yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman di ruang sidang Pleno MK.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo yang mewakili pemerintah, dalam keterangannya menegaskan pengenaan PKB dan BBNKB atas alat berat sudah dilakukan sejak lama di Indonesia.
“Pemungutan pajak tersebut telah berlangsung sejak 1934 sebagaimana diatur dalam Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor dan UU Nomor 27 Tahun 1959 tentang BBNKB dengan didasarkan atas pertimbangan alat berat termasuk dalam kategori pajak kekayaan; secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak jalan; mudah diadministrasikan dan tidak mudah disembunyikan; tarifnya relatif lebih kecil dibandingkan kendaraan lainnya dan tidak dikenakan bobot sehingga tidak menimbulkan dampak biaya tinggi,” papar Boediarso dalam sidang tersebut.
Terkait dengan uji materiil Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU PDRD, Pemerintah menegaskan norma-norma tersebut pernah dilakukan pengujian dan telah diputus MK dengan Putusan Nomor 1/PUU-X/2012 pada 8 Januari 2012. Amar putusan perkara tersebut adalah menolak permohonan pemohon seluruhnya.
Kendati batu uji antara perkara Nomor 1/PUU-X/2012 dan perkara yang diujikan saat ini berbeda, namun Pemerintah menilai materinya sama, yaitu keberatan atas pengenaan pajak terhadap alat-alat berat.
“Dengan demikian, permohonan Pemohon mengenai adanya daerah yang tidak memungut pajak adalah bagian dari tax policy dan umum berlaku sebagai suatu kebijakan yang disebut pay backer never policy,” tegasnya.
Selain itu, Pemerintah berpendapat pemberlakuan pemungutan PKB dan BBNKB terhadap alat berat tersebut berkaitan erat dengan otonomi daerah. Dengan kata lain, setiap daerah memiliki wewenang dan berhak mengelola potensi yang ada pada daerahnya dengan disesuaikan keadaan dan potensi daerah tersebut.
Menanggapi dalil ketentuan dalam UU PDRD bertentangan dengan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 pada April 2016, Pemerintah membantah hal tersebut. Menurutnya, alat berat merupakan objek pajak. “Ketentuan dalam UU PDRD tidak bertentangan dengan UUD 1945”, jelas Boediarso pada akhir pembacaan keterangan Presiden di hadapan Majelis Hakim.
Setelah mendengarkan keterangan Pemerintah, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan pendapat terkait dengan nilai persentase yang diperoleh daerah atas penerapan PKB pada 2015. Saldi meminta pemerintah menyebutkan nominal potensi pajak yang bisa dipungut dari objek pajak alat berat.
“Pemerintah pada poin k halaman 13 menyebutkan persentase pajak yang didapatkan daerah mencapai 0,001% pada 2015. Tolong untuk sidang berikutnya angka total dari persentase tersebut disertakan sehingga para Hakim mengetahui secara jelas berapa besar sumbangan pajak alat berat tersebut terhadap pemerintah dan daerah,” pinta Saldi pada sidang pekan lalu. (Amu)