INDONESIA merupakan negara yang menganut sistem perpajakan self assesment dimana Wajib Pajak harus berperan aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakannya mulai dari menghitung sendiri, menyetor dan melaporkannya kepada administrasi pajak (fiskus).
Fiskus mempunyai fungsi melayani, membina, dan mengawasi pelaksanaan perpajakan yang dilakukan Wajib Pajak dengan cara melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak sebagaimana amanah dalam UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Berdasarkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tersebut, DJP berhak menerbitkan SKP dan STP sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.
Perbedaan perhitungan besarnya pajak yang terutang atau pelaksanaan penagihan yang dianggap Wajib Pajak tidak benar atau tidak memenuhi prosedur sesuai undang-undang seringkali menimbulkan sengketa pajak.
Penyelesaian sengketa menjadi hal penting untuk diperhatikan dalam memberikan upaya keadilan dan kepastian hukum terhadap Wajib Pajak. Berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2011-2015 distribusi angka sengketa dan gugatan berdasarkan amar putusan yang diterima DJP naik cukup signifikan.
Sumber: Laporan Tahunan DJP 2011-2015, diolah
Berdasarkan data statistik amar putusan dari Pengadilan Pajak diatas, terlihat bahwa mayoritas dari putusan Pengadilan Pajak adalah mengabulkan permohonan Wajib Pajak. Itu artinya, dalam proses penyelesaian sengketa pajak ditingkat banding, DJP lebih banyak kalah di putusan Pengadilan Pajak.
Transparansi dan Independensi
MENGAPA itu bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang mendasari penyebab kekalahan DJP ketika menyelesaikan sengketa banding/gugatan di Pengadilan Pajak. Faktor-faktor tersebut antara lain, Pertama, masalah transparansi putusan di Pengadilan Pajak.
Sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi, setiap badan publik mempunyai kewajiban untuk menyediakan informasi dengan cepat, tepat waktu, biaya yang ringan, dan dengan cara yang sederhana sehingga kebutuhan publik dalam memperoleh informasi terpenuhi secara transparan.
Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa segala informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi.
Namun, faktanya hal itu tidak terjadi di Pengadilan Pajak sebagai suatu badan publik. Sikap ketertutupan masih begitu kuat sehingga seringkali menimbulkan dugaan negatif oleh banyak pihak.
Terlebih, pengadministrasian putusan pengadilan yang tidak berjalan dengan baik menyebabkan beberapa pihak mengalami kesulitan dalam mengakses akuntabilitas putusan tersebut. Tentu situasi tersebut bertentangan dengan Prinsip Keterbukaan Pengadilan (Principle of The Open Justice).
Padahal dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU KIP menyatakan bahwa putusan peradilan tidak termasuk kategori informasi yang dikecualikan. Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh Putusan MA Nomor: 1-114/KMA/SK/I/2011 poin C.2 menyatakan bahwa seluruh putusan dan penetapan pengadilan baik yang telah berkekuatan hukum tetap ataupun belum adalah informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik.
Kedua, lemahnya independensi pemeriksa. Dalam rangka penegakan hukum dibidang perpajakan (law enforcement of tax) DJP melakukan pemeriksaaan untuk menguji transaksi bisnis berdasarkan data keuangan angka yang sebenarnya untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.
Sistem pemeriksaaan harusnya dapat mendorong kebenaran dan kelengakapan pelaporan penghasilan, penyerahan, pemungutan, pemotongan dan penyetoran oleh Wajib Pajak. Namun dalam praktiknya, pemeriksa sering melakukan pemeriksaan dengan menggunakan model pendekatan-pendekatan yang tidak didukung dengan bukti yang memadai seperti indikasi arus barang dan arus piutang.
Hal itu dilakukan pemeriksa semata-mata untuk mengamankan penerimaan pajak yang dibebankan kepada unit kantornya masing-masing sehingga pemeriksa akan semaksimal mungkin berusaha untuk dapat menetapkan pajak yang sebesar-besarnya sekaligus menahan permohonan restitusi pajak yang diminta Wajib Pajak.
Pengetahuan Hakim
Ketiga, kurangnya pengetahuan hakim tentang perpajakan Indonesia. Faktor yang paling dalam penentukan putusan sengketa perpajakan adalah kayakinan hakim yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam Pengadilan Pajak, latar belakang hakim yang memberi keputusan harusnya orang yang mengerti dan memahami cara perhitungan akuntansi dan perpajakan sehingga ketika di persidangan tidak menimbulkan argumentasi yang berbeda.
Seringkali perbedaan argumentasi tersebut terjadi karena latar belakang hakim yang memberikan keputusan merupakan murni orang hukum yang kurang mengerti perihal akuntansi dan mekanisme perhitungan perpajakan di Indonesia. Hal ini tentu menimbulkan masalah yang berpengaruh terhadap hasil putusan sengketa pajak.
Keempat, data-data berkaitan materi sengketa baru diberikan Wajib Pajak di persidangan dan dipertimbangkan oleh majelis hakim. Salah satu pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam memutus suatu sengketa perpajakan ketika proses banding adalah penilaian setiap bukti yang diajukan dalam persidangan.
Seringkali Wajib Pajak memilih untuk tidak memperlihatkan dan meminjamkan dokumen/bukti pada saat proses pemeriksaan dan penelitian keberatan karena Wajib Pajak khawatir jika Fiskus mengintepretasikan lain dokumen/bukti tersebut.
Dokumen/bukti tersebut kemudian baru diberikan pada saat proses persidangan di Pengadilan Pajak meskipun dokumen/ bukti tersebut sudah ada pada saat proses pemeriksaan dan penelitian keberatan namun tidak diminta oleh Fiskus karena tidak ada dalam aturan perpajakannya seperti data laporan harian. Jika itu terjadi maka kemungkinan besar Pengadilan Pajak akan mengabulkan permohonan banding Wajib Pajak dan membatalkan keputusan keberatan.
Kelima, kurangnya SDM di Pengadilan Pajak. Sebagai lembaga peradilan, Pengadilan Pajak dibentuk untuk memastikan bahwa pungutan pajak yang dilakukan oleh aparatur sipil negara sesuai dengen ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pengadilan Pajak juga berperan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan. Oleh karena itu, dalam memperkuat fungsi Pengadilan Pajak dibutuhkan SDM yang mempunyai kompetensi baik di bidang hukum, perpajakan maupun di bidang akuntansi.
Hal ini penting agar proses penyelesaian perkara di Pengadilan Pajak dapat berjalan secara optimal. Namun, faktanya jumlah SDM Pengadilan Pajak yang sesuai dengan kriteria tersebut sangatlah minim terutama untuk hakim yang peminatnya sedikit.
Hal itu berbanding terbalik dengan jumlah sengketa yang ditangani tiap tahun yang jumlahnya cenderung meningkat. Data tahun 2015, Pengadilan Pajak memiliki 47 orang hakim yang terbagi dalam 18 majelis.
Sementara, jumlah sengketa pajak tahun 2015 yang harus ditangani berjumlah 11.284 berkas. Tentu jumlah tersebut tidaklah seimbang. Untuk mengatasi masalah ini, DJP harusnya mempercepat pengembangan Sistem Teknologi Informasi Aplikasi Pajak Pengadilan Pajak (STIAPP) yang hingga kini masih dalam bentuk wacana belaka.
Alternatif Solusi
MASALAH-masalah di atas merupakan masalah klasik yang harus dihadapi DJP setiap kali menerima banding/gugatan dari Wajib Pajak dalam proses penyelesaian sengketa pajak yang mengakibatkan banyaknya jumlah permohonan Wajib Pajak yang dikabulkan di Pengadilan Pajak.
Oleh karena itu, DJP harus melakukan upaya-upaya yang komprehensif untuk meminimalisir jumlah permohonan banding Wajib Pajak agar tidak mengganggu kredibilitas DJP sebagai lembaga superbody dalam penerimaan pajak nasional.
Upaya-upaya tersebut antara lain, melakukan evaluasi manajemen direktorat terkait seperti Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan yang didukung dengan bukti yang kuat, Direktorat Peraturan Perpajakan untuk memberikan masukan guna perbaikan ketentuan yang sering menimbulkan sengketa di lapangan, serta memperbaiki tata kelola organisasi dan proses bisnis melalui Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi SDM.
Selain itu, evaluasi juga dilakukan terhadap setiap putusan banding serta melakukan inventarisasi kasus-kasus mana saja yang selama ini kalah dan kasus-kasus mana saja yang selama ini menang sehingga dengan begitu, diharapkan terhadap kasus-kasus yang kalah tidak menimbulkan cost of compliance dimasa yang akan datang. Terakhir, DJP perlu meningkatkan profesionalisme Pemeriksa Pajak dengen prinsip reward and punishmentsebagaimana dimaksud dalam Pasal 36A ayat (1) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.