Rinasih,
DALAM menghadapi dampak perekonomian atas pandemi Covid-19, banyak negara termasuk Indonesia melakukan kebijakan countercyclical dan memperlebar defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2020.
Contoh pelebaran defisit yang diproyeksi International Monetary Fund antara lain Amerika Serikat dari 6,3% ke 18,7%, Perancis dari 3% ke 10,8%, China dari 6,3% ke 11,9%, dan India dari 8,2% ke 13,1%. Indonesia sendiri 2 kali memperlebar defisit, dari 1,76% ke 5,07%, dan terakhir 6,34%.
Untuk membiayai pelebaran defisit itu, pemerintah melakukan pembiayaan di luar kebiasaan antara lain melalui penerbitan surat utang negara berskema bagi beban dengan Bank Indonesia. Namun, pemerintah tidak dapat selamanya bergantung pada utang karena akan membebani APBN.
Walaupun dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 pemerintah telah menetapkan kebijakan defisit APBN yang melebihi 3% sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003 hanya berlaku sampai dengan 2022, hal ini masih sangat bergantung pada kondisi perekonomian.
Perlu diingat APBN masih sangat tergantung pada pajak. Karena itu, untuk menciptakan APBN yang kuat, pemerintah harus mengamankan sumber penerimaan pajak. Salah satunya menjaga dunia usaha agar tetap bergerak, agar pelaku usaha tetap berkontribusi membayar pajak.
Sebetulnya pemerintah sudah cukup antisipatif dan responsif dalam membantu dunia usaha melalui insentif perpajakan. Kasus Covid-19 pertama di Indonesia terjadi pada 2 Maret 2020 dan World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.
Pada bulan yang sama, pemerintah sudah mengeluarkan insentif untuk dunia usaha melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.03/2020. Insentif ini selanjutnya menjadi bagian dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Seiring dengan meluasnya dampak Covid-19, pemerintah terus menambah insentif perpajakan dan memperbarui PMK itu sebanyak 3 kali, terakhir dengan PMK 110/2020. Namun, per 6 Januari 2020 Kementerian Keuangan menyebut dari anggaran insentif Rp120,61 triliun hanya terealisasi 47%.
Lantas, apakah insentif perpajakan tersebut perlu dilanjutkan ke 2021? Kita tahu realisasi insentif itu tidak dapat terlepas dari karakteristik insentif perpajakan yang berbeda dengan karakteristik bantuan pemerintah lain dalam Program PEN.
Realisasi bantuan lain, misalnya program perlindungan sosial, lebih tergantung pada faktor internal pemerintah, antara lain data penerima bantuan yang dimiliki dan aturan pelaksanaannya. Adapun realisasi insentif perpajakan sangat tergantung pada faktor eksternal, yaitu kondisi perekonomian.
Pada awal pandemi, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi akan negatif 3,1% pada kuartal II dan positif pada kuartal III. Namun, sejalan dengan memburuknya Covid-19, resesi tak terhindarkan dan pertumbuhan ekonomi negatif dialami dua kuartal berturut-turut, -5,32% dan -3,49%.
Ketidakpastian ekonomi ini memiliki andil besar pada rendahnya realisasi insentif perpajakan tadi. Namun, data Ditjen Pajak menunjukkan sekitar 90% Klasifikasi Lapangan Usaha atau subsektor yang berhak telah memanfaatkan insentif. Artinya, dunia usaha memang butuh insentif perpajakan.
Tiga Alasan
INSENTIF perpajakan akan lebih dibutuhkan pada 2021 daripada 2020. Paling tidak ada 3 alasan. Pertama, pemerintah menganggarkan vaksinasi Covid-19 pada 2021 yang dimulai sejak 13 Januari 2020. Program ini akan meningkatkan kepercayaan diri warga dan optimisme dunia usaha.
Salah satu penyebab lesunya perekonomian 2020 adalah rendahnya permintaan. Kepercayaan diri warga akan meningkatkan permintaan dan akhirnya pelaku usaha memiliki ruang mengembangkan usaha. Karena ruang inilah, pelaku usaha butuh bantuan cash flow untuk meraihnya.
Kedua, sentimen positif dunia usaha akan terus meningkat pada 2021 tetapi belum kembali normal seperti sebelum pandemi. Kementerian Kesehatan menargetkan untuk mencapai herd immunity perlu vaksinasi 181,5 Juta penduduk yang pelaksanaannya membutuhkan lebih dari 1 tahun.
Pelaksanaan vaksinasi ini diprediksi baru selesai pada Maret 2022. Karena itu, 2021 ini masih menjadi momentum pemulihan, sehingga dunia usaha membutuhkan dorongan yang lebih kuat sampai dengan kondisi mendekati normal.
Ketiga, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pembebasan PPh Pasal 22 impor, dan pengembalian pendahuluan PPN merupakan bantuan cash flow yang tidak mengurangi penerimaan pajak. Dua insentif pertama memang mengurangi penerimaan pajak 2021, tetapi menjadi penerimaan 2022.
Bantuan cash flow tahun ini dapat menjadi pengungkit bagi pelaku usaha untuk melakukan jump start, sehingga pengorbanan penerimaan pajak tahun ini terbayar dengan percepatan pemulihan ekonomi sekaligus membalikkan defisit anggaran di bawah 3% dari PDB pada 2023.
Pemerintah telah memperpanjang insentif perpajakan dalam rangka Program PEN melaui PMK 9/2021 yang berlaku hingga Juni 2021. Semula pemerintah hanya mengganggarkan Rp20,26 triliun kemudian ditambah menjadi Rp 47,27 triliun.
Langkah positif ini sebaiknya diimbangi dengan sosialisasi yang lebih masif agar insentif benar-benar dimanfaatkan pelaku usaha. Karena selain pelaku usaha membutuhkan bantuan, di balik itu, negara lebih membutuhkan pelaku usaha beroperasi karena APBN sangat tergantung pada mereka.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.