LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Sudahkah Threshold PTKP Mencerminkan Asas Keadilan?

Redaksi DDTCNews | Kamis, 23 Januari 2020 | 14:07 WIB
Sudahkah Threshold PTKP Mencerminkan Asas Keadilan?
David Ahmad
Malang
, Jawa Timur

SUDAH menjadi rahasia umum kalau nilai uang rupiah antardaerah di Indonesia berbeda satu sama lain. Nilai uang adalah kemampuan uang untuk dapat ditukar dengan sejumlah barang/jasa tertentu di suatu wilayah (Sakti, 2017).

Contoh, nilai uang Rp5 juta di Jakarta dengan nominal yang sama di Yogyakarta tidak akan sebanding, karena tiap derah memiliki biaya hidup yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, sangat wajar jika Kebutuhan Hidup Layak (KHL) masing-masing daerah di Indonesia tidak dapat dipukul rata.

Dalam menghitung KHL ada 7 komponen yang perlu disesuaikan dengan tren harga kebutuhan di daerah (Permenakertrans No. 13 Tahun 2012). Ke-7 komponen ini meliputi harga makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta rekreasi dan tabungan.

KHL yang ditetapkan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota/Provinsi dipakai sebagai pertimbangan dalam menentukan upah minimum di setiap daerah. Pertanyaannya, atas perbedaan nilai uang dan standar upah minimum yang berbeda di daerah itu, tepatkah apabila threshold PTKP dipersamakan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terdapat tiga pendekatan yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan. Pertama, penghasilan merupakan jumlah aljabar antara nilai pasar konsumsi dan perubahan nilai kekayaan yang disimpan dalam periode tertentu (Simons dalam Darussalam, 2019).

Kedua, menurut UU No. 36 Tahun 2008 penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan WP dengan nama dan bentuk apapun.

Ketiga, terkait dengan asas keadilan dan teori gaya pikul yang menyatakan pajak seharusnya dikenakan sesuai dengan kemampuan WP untuk membayar (ability to pay) serta tidak diwajibkan bagi mereka yang tidak mampu membayar. (Priantara, 2016)

Artinya, untuk menghitung besaran penghasilan kena pajak sesuai dengan ‘kemampuan membayar’, mestinya tidak semata didasarkan pada tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh WP, tetapi terhadap nilai pasar yang dipergunakan sebagai acuan penyusunan KHL WP.

Subjek pajak yang memiliki status sama dan penghasilan yang sama, tetapi tinggal di daerah berbeda dapat menimbulkan kesempatan konsumsi dan investasi berbeda, karena pengaruh KHL yang berbeda pada tiap daerah.

Karena itu, threshold PTKP yang besarannya dipersamakan terhadap seluruh daerah di Indonesia yang KHL-nya berbeda telah bertentangan dengan konsep dan definisi penghasilan serta asas keadilan dan teori gaya pikul dalam konteks perpajakan.

Keadilan Ideal
LANTAS bagaimana seharusnya PTKP mencerminkan asas keadilan yang ideal? Menjawab pertanyaan ini bukan perkara mudah, tetapi setidaknya terdapat desain kebijakan atau beberapa pokok pikiran yang dapat dipertimbangkan pemerintah.

Langkah yang bisa dilakukan antara lain melakukan penyesuaian besaran PTKP dengan nilai pasar atas konsumsi yang dilakukan WP dengan pendekatan KHL yang sebenarnya di tiap daerah. Sederhananya, threshold PTKP harus proporsional sama tinggi atau sama rendah terhadap KHL antardaerah.

Dengan demikian, untuk dapat menghitung penghasilan kena pajak pegawai yang dipotong oleh pihak ketiga atau pekerja bebas yang melakukan kegiatan usaha dapat disesuaikan dengan keadaan konsumsi yang sebenarnya pada daerah kegiatan usaha atau lokasi kerja WP berlangsung.

Penyesuaian itu menjadi perlu penting karena paling tidak dua alasan. Pertama, ibarat pepatah lain lubuk lain ikannya, nelayan musti menyesuaikan ukuran jala dengan ukuran ikan pada setiap lubuk. Nelayan sulit mendapat ikan jika jalanya memiliki celah lebih besar ketimbang ukuran rata-rata ikan.

Itu berarti, otoritas pajak harus dapat menegakkan asas keadilan secara proporsional sesuai dengan karakter daerah masing-masing, sehingga tidak tercipta kecemburuan yang mengakibatkan degradasi kepatuhan dan kepercayaan WP kepada otoritas pajak.

Kedua, terkait dengan laporan Revenue Statistic in Asia Pacific Economies 2019 (OECD, 2019), yang menyebut tax ratio Indonesia berada pada urutan terendah yaitu 11,5%, dan kalah jauh dari negara seperti Tokelau (14,2%) dan Vanuatu (17,1%).

Karena itu, ketidakgemilangan ini perlu direparasi total dan berkesinambungan agar tax ratio tersebut dapat terkerek lebih tinggi. Ingat, salah satu faktor rendahnya tax ratio di indonesia adalah ketika gap penghasilan minimum berada terlalu jauh di bawah batas PTKP. (Ahmad, 2018)

Untuk mengimplementasikannya, beberapa pihak mungkin berpendapat ini praktik tidak lazim. Satu negara dengan banyak threshold PTKP tentu akan menambah kerumitan dan tantangan baru bagi WP, otoritas pajak, dan konsultan pajak dalam meningkatkan kepatuhan di bidang perpajakan.

Namun, apabila merujuk pada konsep yang dibangun Schumpeter (1942), perubahan positif memang seringkali menimbulkan disrupsi sesaat, tetapi tetap harus dilakukan untuk mewujudkan kebaikan jangka panjang dan keadilan yang lebih baik (Vissaro, 2019).

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

23 Januari 2020 | 16:59 WIB

bagus topik nya vid👍

23 Januari 2020 | 15:00 WIB

setuju ker👏👏

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 23 Maret 2024 | 14:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Anak Baru Lahir, Kapan Besaran PTKP Mulai Berubah?

Rabu, 13 Maret 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

PTKP Wanita Kawin yang Pisah Harta atau Memilih Terpisah

Senin, 11 Maret 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

PTKP Wanita Kawin yang Bekerja Lebih dari 1 Pemberi Kerja

BERITA PILIHAN