Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kadin Indonesia Herman Juwono.
JAKARTA, DDTCNews – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memiliki beberapa catatan terkait dengan penerapan insentif pajak untuk kegiatan vokasi serta penelitian dan pengembangan (Litbang) yang diatur dalam PMK 128/2019 dan PMK 153/2020.
Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kadin Indonesia Herman Juwono mengatakan insentif supertax deduction untuk vokasi dan Litbang merupakan agenda besar yang harus dikawal implementasinya. Menurutnya, kedua insentif tersebut melibatkan banyak pemangku kepentingan dan pelaku usaha.
"Dari sini dapat dilihat [insentif super deduction] ada link and match serta melibatkan lintas sektoral seperti Kemenperin, Kemenaker, Kemenag, dan Kemenkeu,” katanya saat menjadi peserta sosialisasi daring Kemenperin terkait supertax deduction kegiatan Litbang, Senin (26/10/2020).
Herman menjabarkan insentif kegiatan vokasi menyasar untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia untuk mengisi kebutuhan pasar tenaga kerja. SDM yang kompeten kemudian menjadi basis untuk menggenjot inovasi yang datang dari sektor swasta.
Oleh karena itu, pemberian insentif supertax deduction kegiatan vokasi dan Litbang menjadi satu rangkaian kebijakan untuk meningkatkan daya saing dari sisi tenaga kerja dan pemilik usaha.
Kadin Indonesia, sambungnya, akan membuka diri untuk melakukan pengawasan implementasi kebijakan di lapangan. Menurutnya, pelaku usaha yang memanfaatkan fasilitas fiskal ini memerlukan pendampingan karena kebijakan insentif berbasis biaya seperti supertax deduction relatif baru di Tanah Air.
"Kadin menilai kegiatan harus terkoordinasi dengan jelas antarsektoral, Kadin tingkat provinsi dan kabupaten/kota siap memonitor sejauh mana peningkatan SDM dan Litbang berjalan dan faktor hambatannya," terangnya.
Herman menambahkan insentif yang sudah tersedia ini dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk meningkatkan kapasitas SDM dan inovasi. Dengan demikian, minat swasta untuk terjun dalam kegiatan Litbang makin banyak.
"Tentu kami berharap pelaku usaha memanfaatkan fasilitas ini agar belanja riset dapat meningkat dari posisi saat ini yang masih 1% dari PDB. Peningkatan itu tentu harus datang dari swasta dan bukan lagi dari pemerintah,” imbuhnya. (kaw)